[caption id="attachment_403226" align="aligncenter" width="218" caption="dodea.edu"][/caption]
Ketika membolak-balikkan koran yang saya beli hari ini, saya menemukan berita bahwa mayoritas anggota 16 WNI yang sempat hilang di Turki adalah anak di bawah umur. Bagi saya hal ini sangat mengkhawatirkan, karena sebagaiamana kita tahu, ada dugaan kuat pengaruh ISIS dalam kasus tersebut. Hal yang saya khawatirkan adalah anak-anak di kelompok tersebut berisiko terpapar propaganda sesat yang diserukan oleh ISIS. Kan, kasihan kalau mereka tercuci otaknya.
Berbicara mengenai bahaya propaganda ISIS pada generasi muda memang bukanlah hal isapan jempol belaka. Bagi ISIS, generasi muda adalah pasukan yang tepat untuk membesarkan ideologi khilafah yang diusungnya. ISIS menginginkan generasi muda bersimpati padanya karena melihat bahwa psikologis generasi muda masih labil dan mudah untuk dicekcoki oleh beragam paham. Selain itu, ISIS juga menyadari bahwa generasi muda memiliki semangat tinggi untuk mencari jati diri, sehingga akan menjadi aset emas jika berhasil dipengaruhi oleh kelompok ekstremis tersebut.
Kemudian saya berpikir, mengapa tidak memasukkan isu mengenai terorisme ke dalam kurikulum sekolah sebagai bentuk pencegahan dini terhadap bahaya aksi teror di Indonesia. Derngar-dengar sih dulu sempat ada wacana seperti itu, namun entah kenapa gagal. Tapi saya mendengar kabar di beberapa perbincangan di dunia maya bahwa isu terorisme dianggap terlalu keras dan kurang cocok jika dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, apalagi untuk tingkat pendidikan dasar.
Memang sih akan terlihat keras untuk dijadikan pelajaran di sekolah, tapi bukan berarti tidak ada cara lain untuk memasukkan isu terorisme ke dalam kurikulum sekolah. Menurut saya, cara yang paling jitu untuk saat ini adalah dengan menggalakkan penanaman nilai-nilai tenggang rasa beragama melalui pelajaran PKN di sekolah. Materi ini menurut saya tepat bagi pendidikan anak-anak karena secara perlahan akan menanamkan nilai toleransi dalam hidup bersama di tengah masyarakat.
Lebih lanjut, menurut saya, dengan digalakkannya materi tenggang rasa antar umat beragama, maka akan meminmalisir munculnya superiotitas akan agama tertentu. Diharapkan melalui metode ini, generasi muda, khususnya anak-anak di tingkat pendidikan dasar, akan belajar bagaimana cara berpikir dingin dalam menghadapi perbedaan di lingkungan masyarakat. Mereka juga secara tidak langsung akan belajar mengenai betapa indahnya hidup bersama dengan rukun dan damai.
Hal ini sejalan dengan salah satu konsep yang diajukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yakni kontra radikal. Konsep ini menitik beratkan pada ajakan untuk melawan aksi terorisme dengan perdamaian. BNPT dan pemerintah mengajak masyarakat Indonesia untuk bersama menjunjung tinggi hidup damai guna mendukung kokohnya persartuan dan kesatuan bangsa.
Sudah jelas, bahwa bangsa yang besar dan kokoh adalah bangsa yang masyarakatnya bersatu padu dalam damai. Hal ini akan lebih potensial manfaatnya jika dipupuk sejak dini pada generas muda, di mana dalam kaitannya dengan penanggulangan terorisme, yakni melalui menggalakkan pendidikan toleransi beragama dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Generasi muda yang cinta damai niscaya akan berbuah pada generasi bangsa yang teguh dan tidak mudah terhasut oleh paham-paham selain NKRI dan Pancasila yang menjadi harga mati bagi bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H