Dulu, penyebaran propaganda radikalisme dilekaukan secara offline. Harus dilakuan secara langsung dan dilakukan di tempat tertentu, agar tidak mudah diketahui. Seiring perkembangan waktu, penyebaran propaganda radikalisme mulai memanfaatkan kecanggihan teknologi. Salah satunya adalah dengan menyebarkaluaskan secara online. Caranya dengan cara mengunggahnya melalui media sosial, lalu bisa diakses oleh siapa saja.
Kini, seiring dengan perkembangan artificial intelligence (AI), banyak pihak mulai memanfaatkannya. Tak terkecuali jaringan kelompok radikal dan jaringan teroris global. AI adalah sebuah sistem kecerdasan manusia, yang sangat canggih seperti sistem computer, yang dapat berpikir dan bekerja seperti manusia. Sistem yang menerapkan AI, dipercaya dapat bekerja lebih efektif dan efisien.
Saat ini AI telah bertebaran dimana-mana, dan mulai banyak diadopsi di smartphone, laptop dan lain sebagainya. Dan hal ini pun, mulai dicium oleh kelompok ISIS. Mereka mulai menggunakan deepfake dan chatbot, untuk menciptakan karakter AI sebagai bagian dari propaganda. Bahkan, kelompok Al Qaeda disebut sudah membuat wokshop sosialisasi kecerdasan buatan, untuk para anggotanya yang tersebar di seluruh dunia.
Lalu, bagaimana kita harus mengantisipasinya? Tentu kita semua tidak boleh lengah. Kita semua harus terus meningkatkan kewaspadaan, dengan meningkatkan literasi. Teknologi pada dasarnya merupakan sarana. Jika kita mempunyai mindset yang sama dan positif, untuk menggunakan teknologi untuk kepentingan yang lebih baik, diharapkan penyebaran bibit radikalisme melalui AI, diharapkan bisa dicegah dan diantisipasi.
Mari kita belajar dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Di era penjajahan, kita pernah menjadi korban politik adu domba penjajah, yang membuat perjuangan merebut kemerdekaan menjadi terganggu. Akibat politik adu domba ini, Indonesia hidup dalam masa penjajahan selama ratusan tahun. Lalu, di era sekarang ini, kita juga pernah punya pengalaman bagaimana hate speech, provokasi dan hoaks telah membuat antar sesama bisa saling menebar kebencian dan melakukan tindak kekerasan. Keberagaman yang seharusnya menjadi anugerah, justru dimaknai sebagai sumber persoalan yang terus dipertentangkan, akibat kesalahan mindset.
Membekali diri dengan informasi yang tepat merupakan kunci. Tak hanya itu, pemahaman agama yang benar dan kontekstual juga penting di era sekarang ini. Karena seringkali kelompok radikal memanipulasi dan mereduksi arti ayat suci, yang berdampak pada salah dalam memahami agama. Selain itu, pemahaman kebangsaan juga diperlukan dalam konteks warga negara Indonesia. Kenapa? Karena Indonesia merupakan negara kepulauan, yang mempunyai keragaman suku, agama, bahasa dan budaya.
Dengan memperkuat literasi dan pemanfaatan teknologi secara tepat, diharapkan bisa menjadi modal awal dalam penanggulangan bibit radikalisme di era kecerdasan buatan seperti sekarang ini. Jadilah pribadi yang kritis, jangan asal percaya dengan informasi apapun sebelum melakukan cek ricek. Dan yang tak kalah pentingnya adalah penyebaran nilai kearifan lokal, tetap penting dilakukan agar kita tidak lupa akan asal usulnya. Kita adalah masyarakat timur, yang sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, saling menghargai dan gemar melakukan tolong menolong antar sesama. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H