Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jihad Melawan Bibit Intoleransi Dalam Diri

10 Desember 2023   10:12 Diperbarui: 10 Desember 2023   10:15 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Damai Itu Indah - jalandamai.org

Sifat baik dan buruk ada dalam setiap pribadi kita masing-masing. Dan setiap orang, bisa melakukan perbuatan baik ataupun buruk. Itu artinya, bagaimana perilaku kita dalam berteman, bertetangga, dan berinteraksi ditentukan dan dikendalikan oleh diri kita sendiri. Karena itulah, jihad yang sesungguhnya pada dasarnya melawan diri sendiri. Dan menjadi tugas kita bersama, untuk saling mengendalikan diri masing-masing, agar toleransi antar umat Bergama di negeri ini tetap terjaga. Pengendalian diri penting, agar persatuan dan kesatuan tetap terjaga.

Namun, untuk mewujudkan hal tersebut tentu bukan perkara mudah. Terlebih keragaman di Indonesia sangat tinggi, berbeda dengan negara-negara lain. Indonesia memiliki ribuan suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Ribuan suku tersebut tentu mempunyai bahasa dan budaya lokal yang melekat di belakangnya. Begitu juga untuk urusan agama. Indonesia tidak hanya menganut agama Islam, tapi juga ada agama-agama lainnya seperti Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.

Bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memilih menjadi muslim, bukan menjadi alasan untuk merubah konstitusi negeri ini. Kelompok radikal seringkali membenturkan hal ini, untuk memprovokasi masyarakat yang pemahaman agamanya rendah. Akibatnya, masyarakat mudah disulut amarah dan mudah melakukan tindakan diskriminasi dan intoleransi.

Lalu, bagaimana caranya melawan bibit intoleransi dalam diri kita sendiri? Tentu saja harus diawali dari komitmen kita dulu. Jika dari kita tidak punya niat yang serius, maka segala yang telah direncanakan tentu tidak akan terwujud. Jika kita komitmen untuk posting hal yang positif di media sosial, maka harus dilakukan. Jika kita komitmen untuk saling menghargai dan tidak memperdebatkan perbedaan, maka wujudkan dalam setiap perilaku.

Selanjutnya, bekalilah diri dengan pemahaman pengetahuan yang benar dan kontekstual. Baik itu pemahaman tentang agama, politik, sosial ataupun ilmu pengetahuan. Segalanya harus valid dan bisa dilihat konteksnya. Misalnya, seringkal ayat-ayat perang dalam kitab suci disalahgunakan oleh oknum  tertentu, untuk memprovokasi melakukan jihad. Padahal, jika dilihat dalam konteks yang sekarang, bisa jadi ayat tersebut sudah tidak relevan. Karena itulah melihat konteks sangat penting.

Lalu, lihatlah dari sudut pandang implikasi. Apa implikasi yang dimunculkan jika perbuatan tersebut dilakukan. Jika perbuatan tersebut memunculkan diskriminasi, menyakiti orang lain, dan memicu terjadinya konflik, maka tinggalkan. Misalnya jika kita melihat cara ibadah yang berbeda, pendekatan budaya yang berbeda, tak perlu dipersoalkan. Karena hal itu mungkin bisa menyakiti kelompok tersebut. Ingat, persoalan keyakinan bukanlah menjadi ranah kita sebagai manusia.

Yang tak kalah pentingnya adalah cek ricek. Bandingkan informasi tersebut ke sumber-sumber lain yang terpercaya. Jika kita bisa melakukan hal tersebut, maka kita punya sudut pandang yang lebih obyektif. Dengan demikian, kita tidak akan mudah terprovokasi untuk melakukan perbuatan intoleran.  Dan yang terakhir yang juga penting adalah belajar untuk mengongtrol emosi, amarah dan segala keinginan. Inilah sejatinya jihad yang sesungguhnya. Karena musuh yang sebenarnya adalah diri kita sendiri. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun