11 April 2022, mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI melakukan unjuk rasa menentang wacana penundaan pemilu, dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas perihal unjuk rasanya, atau konten yang disuarakan. Karena unjuk rasa merupakan bagian dari bentuk aspirasi yang diatur dalam undang-undang. Yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah perilah aksi pengeroyokan yang dilakukan beberapa oknum kepada Ade Armando.
Usut punya usut, motif pengeroyokan karena adanya kekesalan terhadap Ade Armando terkait tulisannya di media sosial. Polda Metro Jaya sendiri mengaku sudah mengantongi identitas pelaku. Polda meminta pelaku menyerahkan diri atau akan dijemput paksa. Jika motifnya sebatas kesal karena tulisan di media sosial, menunjukkan bahwa tingkat literasi sebagian masyarakat masih rendah. Bukan bermaksud menyalahkan, tapi jika kita sampai terprovokasi tulisan di media sosial, bisa jadi karena kita kurang obyektif dalam melihat sebuah informasi.
Seperti kita tahu, hoaks dan provokasi kebencian di media sosial begitu masif. Ketika ada kelompok yang merasa tersinggung dengan data atau fakta yang dimunculkan, akan langsung di counter dengan informasi yang direkayasa sedemikian rupa, sehingga membuat masyarakat terbelah. Contoh beberapa tahun lalu ada salah seorang tokoh agama yang diduga melakukan tindak pidana penyebaran ujaran kebencian. Narasi yang dimunculkan kemudian adalah kriminalisasi ulama. Padahal, kepolisian mempunyai bukti yang cukup, dan belakangan memang benar terbukti.
Tidak jauh berbeda dengan penyerangan yang melanda Ade Armando. Karena merasa tersinggung, langsung saja melakukan penyerangan. Beberapa tahun lalu, juga pernah terjadi aksi pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang diprovokasi oleh pastingan di media sosial. Ini menunjukkan arogansi telah mengalahkan toleransi. Karena kita semua pada dasarnya mempunyai bibit toleransi yang kuat sejak dulu. Tidak hanya dijelaskan dalam ajaran agama, dalam kearifan lokal yang melekat pada masing-masing suku, juga mengajarkan perihal toleransi ini.
Jika kita memang mengaku taat pada ajaran agama, jika kita memang menghormati bulan suci Ramadan yang penuh keberkahan ini, arogansi dan egoisme itu mestinya bisa dikalahkan. Karena egoism dan arogansi hanyalah akan mendekatkan diri pada hal yang tidak baik. Arogansi hanya akan mendekatkan diri pada intoleransi. Dan hal itu terlihat dalam aksi pemukulan Ade Armando dalam aksi mahasiswa beberapa waktu lalu. Apalagi para pemukul tersebut bukanlah bagian dari mahasiswa yang melakukan unjuk rasa. Bisa jadi, mereka memang ada motif terselebung di dalamnya. Namun hal ini biarlah menjadi bagian dari aparat kepolisian untuk mengusutnya.
Yang harus menjadi PR kita bersama adalah, bagaimana kita semua komitmen untuk tidak mengedepankan arogansi. Arogansi merupakan bagian dari bibit radikalisme, yang merasa paling benar sendiri dan menilai orang lain sebagai pihak yang salah. Arogansi sungguh tidak menghargai perbedaan. Dan arogansi justru akan merusak toleransi dan menghadirkan intoleransi. Karena itulah, di bulan suci Ramadan ini, mari tanggalkan bibit arogansi dalam diri. Buang jauh-jauh agar kita bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H