Penceramah pada dasarnya berfungsi sebagai penyambung atau mediator, agar masyarakat yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang tidak paham menjadi paham, yang awalnya tidak mengerti menjadi mengerti. Penceramah juga merupakan jembatan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang obyektif, sehingga memperkuat literasi. Penceramah juga menjadi jembatan untuk mencerdaskan masyarakat. Begitu penting posisi penceramah ini. Tidak heran jika semua agama mengadopsi konsep ceramah ini.
Penceramah memang identik dengan hal yang berhubungan dengan spiritualisme. Hampir semua agama di Indonesia ini punya penceramah, dengan penyebutan yang berbeda. Penceramah agama ini bisa dikatakan bagian dari panutan umat, atau tokoh yang bisa dijadikan teladan. Karena itulah, seorang penceramah harus mempunyai pemahaman informasi yang luas. Punya sudut pandang yang obyektif dari berbagai arah. Bahkan, penceramah agama ini umumnya tidak hanya dilihat dari ucapannya saja, tapi juga dicontoh perilakunya. Pada titik inilah, penting seorang penceramah agama atau tokoh agama ini mempunyai wawasan yang luas, tidak hanya sebatas pemahaman agama. Selain itu perilakunya pun juga harus bisa dijadikan teladan.
Penceramah agama, harus mempunyai tingkat spiritualisme yang matang. Dalam konteks Indonesia, kita punya Wali Songo, yang punya wawasan keagaman yang luas, tapi juga punya wawasan keberagaman yang nyata. Ketika Wali Songo masuk ke Jawa ketika itu, masyarakat sudah memeluk agama Hindu dan Budha. Bahkan ada juga yang masih memeluk aliran kepercayaan. Yang dilakukan ketika itu bukanlah menjelekkan, mencaci, menyebar kebencian ataupun melakukan tindakan intoleran. Yang terjadi ketika itu justru akulturasi. Karena yang salah tidak selamanya salah. Wali Songo berhasil memadukan antara budaya dan agama, menjadi identitas kebangsaan.
Dalam konsep spiritualisme, agama merupakan sumber etika dan moral bagi kehidupan. Agama bukanlah sebuah dogma yang kaku. Dalam nalar spiritualisme, meyakini bahwa seluruh bumi dan seisinya yang beraneka macam itu, merupakan ciptaan Tuhan YME. Bukan sebuah persoalan pula, jika ada perbedaan agama, aliran atau yang lainnya. Karena pada dasarnya Tuhan menciptakan bumi dan seisinya ini penuh dengan keberagaman.
Penceramah tidak hanya dituntut memahami esensi dari spiritualisme itu sendiri, tapi juga perlu memahamai wawasan kebangsaan. Karena Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang penuh dengan keberagaman, sama dengan ciptaan Tuhan yang penuh dengan keberagaman. Dalam konteks nasionalisme, juga sangat menghargai keberagaman. Nasionalisme lahir karenanya adanya kesamaan pengalaman masa lalu, dan kesamaan pandangan akan masa depan.
Masyarakat Indonesia sepakat sama-sama berbangsa satu, bangsa Indonesia. Sepakat berbahasa satu bahasa Indonesia. Dan bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kita pernah punya pengalaman bersatu untuk merebut kemerdakaan. Tak peduli apa agama dan latar belakangnya, sepakat untuk mewujudkan kemerdekaan demi kesamaan pandangan akan masa depan.
Untuk itulah, penceramah seringkali berada diantara spiritualisme dan nasionalisme. Untuk memperkuat spirilitualisme, seringkali membutuhkan penceramah agama. Sedangkan untuk konteks naionalisme, penceramah agama juga dituntut untuk bisa menjaga keutuhan sebuah bangsa, dituntut untuk menjaga keberagaman, dan dituntut untuk menjaga semangat nasionalisme demi keutuhan bersama. Penceramah tidak boleh menebar kebencian, apalagi menebar provokasi untuk melakukan tindakan intoleransi. Jika ada penceramah agama, atau seseorang yang mengaku paham agama tapi justru berperilaku yang bertentangan dengan ajaran agama tidak perlu diikuti. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H