Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, budaya, agama dan bahasa. Keragaman yang merupakan anugerah dari Tuhan ini, harus terus dijaga, agar generasi penerus bisa mengetahui dan memahami tentang Indonesia. Meski tiak suku mempunyai latar belakang yang berbeda, keragaman tersebut tetap bisa membuat masyarakat Indonesia hidup berdampingan. Tidak peduli apa sukunya, agamanya, atau latar belakangnya, selama masih hidup di tanah Indonesia, kita semua bersaudara. Semangat itulah yang tercermin dalam gotong royong, tepo seliro, tenggang rasa, dan masih banyak lagi nilai-nilai kearifan lokal yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Mengedepankan kearifan lokal menjadi hal yang penting di tengah kemajuan teknologi informasi. Seperti kita tahu, untuk bisa mendapatkan informasi apa saja di era sekarang ini begitu mudah. Karena kemudahan inilah kemudian disalahgunakan oleh oknum tertentu, untuk menyebarkan pesan-pesan negative, informasi menyesatkan, bahkan hoaks dan ujaran kebencian juga seringkali disebarkan melalui media sosial. Akibatnya, masyarakat yang tingkat literasinya rendah, akan mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan tersebut.
Menjadi tugas kita bersama, untuk meluruskan yang salah. Menjadi tugas kita bersama juga, untuk mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang  bermanfaat untuk masyarakat luas. Perkembangan teknologi telah membuat informasi dari mana saja mudah berkembang. Tak terkecuali ideologi transnasional. Ideologi yang identik dengan paham radikal ini bisa merusak toleransi yang telah ada. Bisa juga merusak keberagaman yang telah ada. Ideologi ini juga mendekatkan diri pada perilaku-perilaku intoleran. Bahkan pada titik yang lebih ekstrem, ideologi ini juga bisa memicu terjadinya aksi terorisme.
Belakangan, ideologi ini kembali mengemuka, usai kelompok Taliban berhasil menduduki Afganistan. Kelompok radikal di Indonesia, memanfaatkan hal ini untuk menebar provokasi dan propaganda radikalisme. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama muslim, dianggap senasib dengan masyarakat Taliban, yang dianggap sebagai kemenangan Islam. Di media sosial mulai ramai dukungan terhadap kelompok ini.
Indonesia dan Afganistan jelas berbada. Memang ada jaringan terorisme di Indonesia yang sempat belajar dan berjuang di Afganistan. Bisa jadi karena hal inilah, sentimen yang dibangun belakangan seperti bentuk dukungan ke kelompok Taliban. Hal yang sama juga pernah terjadi ketika ISIS berhasil menguasai Suriah dan sebagian Iraq. Kelompok ini dianggap bagian dari perjuangan Islam, yang mengusung konsep khilafah. Sementara khilafah sendiri tidak pernah diadopsi oleh negara-negara di timur tengah.
Ideologi radikal di Indonesia memang bukanlah hal baru. Meski Indonesia mengedepankan toleransi, kelompok radikal sudah ada sejak dulu. Mereka juga terus berkembang menyesuaikan zaman. Pola rekrutmennya pun juga menyesuaikan perkembangan zaman. Jika dulu harus dilakukan secara fisik, kini bisa dilakukan secara daring. Aksi terornya pun mulai banyak dilakukan melalui media sosial. Polanya adalah menebar hoaks, provokasi dan ujaran kebencian. Kegaduhan di dunia maya itu kemudian berlanjut di dunia nyata. Hal seperti inilah yang harus diwaspadai. Karena itulah, mari lindungi negeri yang penuh dengan keanekaragaman ini dengan kearifan lokal. Hanya dengan nilai-nilai luhur inilah, keberagaman itu tetap terjaga. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H