Pandemi covid-19 yang terjadi sudah hampir 1,5 tahun ini memang telah merubah semuanya. Jika pola hidup kita masih sama seperti dulu, potensi terpapar akan semakin besar.Â
Jika kita masih tidak mau menerapkan protokol kesehatan, potensi terpapar virus mematikan ini akan semakin besar. Sayangnya, masih banyak dari masyarakat yang abai terhadap prokes. Masih tidak mau menggunakan masker, tidak mau menjaga rajin-rajin membersihkan tangan dan badan, serta tidak mau menjaga jarak dan menjauhi kerumunan, potensi terpapar akan semakin besar.
Per 9 Juli 2021, kasus positif harian secara nasional sudah tembus diatas 38 ribu. Tempat pemakaman umum sudah penuh. Rumah sakit penuh. Masyarakat bingung harus berobat kemana. Harga tabung oksigen melambung hingga 900 persen. Semuanya itu terjadi buah dari masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan. Pada titik inilah, kita semua harus rajin melakukan adaptasi baru. Tidak hanya adaptasi dalam hal berperilaku, tapi juga adaptasi dalam hal beribadah di tempat ibadah.
Di masa pandemi ini, pemerintah pernah melakukan penutupan tempat ibadah. Masyarakat dihimbau untuk melakukan aktifitas ibadah dari rumah. Kebijakan ini tidak lain untuk mencegah terjadinya klaster baru di tempat ibadah. Ketika tempat ibadah dibuka, tata caranya pun juga diatur untuk tetap mengedepankan protokol kesehatan. Ketika berjamaah dianjurkan tidak berdekatan, melainkan di kasih jarak. Ketika berjamaah diwajibkan menggunakan masker. Lagi-lagi, semuanya itu dilakukan untuk mencegah potensi penyebaran virus corona.
Ketika, tidak sedikit dari masyarakat yang mempersoalkan tata cara ibadah tersebut. Dinilai tidak sah, tidak tepat, intinya dianggap salah. Sementara mayoritas tokoh agama menyatakan tidak masalah, karena ini merupakan adaptasi yang harus dilakukan di tengah wabah. Media sosial banyak sekali dipenuhi dengan ujaran kebencian, menyalahkan pemerintah, menyalahkan ini dan itu. Sementara disisi lain, muncul provokasi yang membuat kita geleng-geleng. Masyarakat yang tidak berani sholat di masjid, dianggap tidak takut sama Allah. Masyarakat yang sholat di rumah dianggap takut sama virus. Pandangan ini jelas salah. Hal ini bukan masalah takut atau tidak takut. Tapi persoalan kesedaran untuk mencegah penularan wabah.
Ketika pemerintah menerapkan PPKM Darurat, aktifitas di tempat ibadah kembali ditutup sementara. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyerukan agar umat Islam beribadah di rumah saja. Bahkan, bagi daerah yang masuk zona merah, dikeluarkan edaran peniadaan sholat Idul Adha. Lagi-lagi, hal ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dari potensi terpaparnya virus. Sayangnya, masih saja provokasi yang menyatakan pemerintah sesat, pemerintah anti Islam dan segala macamnya.
Mari kita berpikir rasional. Jika kondisi tidak darurat, tentu segala halnya akan berjalan normal. Mari kita hilangkan pemikiran radikal dalam otak kita. Saatnya untuk terus berpikir positif, agar imun kita tetap terjaga. Jika kita terus negative thinking, kita akan diselimuti amarah yang bisa mendekatkan diri pada perilaku intoleran. Jika amarah itu terus dipeliharan, banyak penelitian menyatakan akan membuat imun kita juga tidak terkendali. Sekali lagi, mari menjadi pribadi yang cerdas. Pahami agama secara utuh dan benar. Mari saling melakukan adaptasi di masa pandemi ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H