Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Kesehatan Nalar di Era Digital

11 Maret 2021   09:26 Diperbarui: 11 Maret 2021   09:34 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mempererat Persaudaraan - jalandamai.org

Tuhan telah memberikan anugerah akal bagi setiap manusia. Akal dan logika inilah yang kemudian bisa digunakan untuk mencerna, memahami dan mengerti setiap peristiwa yang terjadi. Tak jarang ada pihak-pihak yang menumpulkan logika, dengan menghadapkan pada pilihan benar dan salah, titik. Atau halal dan haram. Padahal, setiap manusia itu masih berproses. Dan dalam proses tersebut bisa saja harus melewati salah dulu baru menuju yang benar. Atau sebaliknya, ada juga yang benar justru menuju ke yang salah. Tentu kita bisa melihat hal-hal semacam ini dalam kehidupan sehari-hari.

Diantara kita harus saling menghargai setiap proses yang terjadi. Tuduhan benar dan salah, bisa berpotensi merusak kerukunan, bukan ranah manusia untuk menyatakan benar atau salah, kafir atau tidak. Karena yang terjadi belakangan adalah, berbeda keyakinan dan pandangan menjadi hal yang mengkhawatirkan. Berbeda takut di cap sebagai kafir, kalau sudah dinyatakan kafir, yang terjadi selanjutnya persekusi dan praktek intoleransi lainnya.

Terkadang banyak orang mudah terprovokasi, karena tidak pernah menggunakan logikanya. Terkadang informasi yang berkembang tidak sepenuhnya benar, meski dikatakan oleh tokoh masyarakat, tokoh politik atau tokoh agama sekalipun. Perkembangan teknologi informasi juga turut menyuburkan penyebaran berita bohong, melalui tangan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Disinilah pentingnya literasi, agar kita bisa melihat segala persoalan atau peristiwa, dari banyak sisi. Sehingga kita bisa memahaminya secara utuh.

Biasakan berpikir kritis. Lihatlah informasi tersebut logis atau tidak. Masuk akal atau tidak. Untuk bisa menentukan iya atau tidak, tentu harus punya basis informasi yang valid. Tidak bisa berdasarkan katanya. Tidak bisa pula berdasarkan si A atau si B. Cek riceklah kepada pihak-pihak yang benar-benar kompeten. Karena pembelokan isu masih saja terjadi. Bahkan, di masa pandemi saja, masih ada pihak-pihak yang menyudutkan dan menyalahkan pemerintah, karena kebijakannya dianggap tidak pro kepada mayoritas muslim. Selalu saja membawa sentimen agama, agar mudah mendapatkan simpati masyarakat.

Dan dari masyarakat sendiri, juga jangan terlalu mudah terjebak atau terpengaruh dengan sentimen-sentimen keagamaan. Dulu, ketika ISIS berkuasa di Iraq dan Syuria, semua orang berbondong-bondong hijrah karena dianggap telah memberikan kepastian. Kenyataannya, tidak sedikit dari masyarakat yang telah kesana justru dijadikan alat untuk mewujudkan keinginan bejatnya. Belakangan terungkap, setelah ISIS tumbang dan berhasil dikalahkan.

Jangan remehkan logika manusia. Namun logika harus terus diasah, agar kita bisa punya pisau analisa yang kuat. Ibarat pisau, harus terus digunakan dan diasah, agar ketajamannya tetap terjaga. Namun, nalar harus digunakan untuk tujuan yang positif. Tuhan memberikan akal bukan untuk mengakal-akali, tapi agar bisa saling mengisi, saling menghargai dan saling sinergi satu dengan lainnya.

Era digital memang harus dihadapi dengan suka cita. Era digital tidak boleh dihadapi dengan menelan mentah-mentah setiap informasi. Jangan pula samakan setiap informasi yang masuk, dengan peristiwa-peristiwa keagamaan. Misalnya, peristiwa Isra Mi'raj yang secara logika sulit dicerna, tapi diyakini kebenarannya. Peristiwa ini memang benar adanya. Dijelaskan di dalam Al Quran dan perintah yang didapatkan dari peristiwa ini pun, dijalankan hingga saat ini. Yaitu sholat lima waktu. Mari melihat berdasarkan konteksnya. Dalam konteks sekarang, dimana informasi bohong begitu masif bermuunculan, nalar yang kuat dan sikap yang kritis harus terus disuarakan. Jangan mudah percaya, jika secara nalar memang tidak masuk akal. Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun