Isu kritik mengkritik belakangan mulai marak dibicarakan. Presiden meminta kepada masyarakat untuk tidak segan-segan melontarkan kritik. Namun pernyataan ini justru menuai polemik di publik.Â
Ada yang menyambut baik, namun ada yang menyatakan takut ditangkap dan lain sebagainya. Disisi lain, marak juga buzzer di media sosial yang terus melontarkan pernyataan-pernyataan yang terkadang membingungkan. Semuanya itu dilakukan atas nama kebebasan menyampaikan pendapat dan argumentasi di muka publik. Disatu sisi penyampaian aspirasi memang dijamin oleh undang-undang, namun disisi lain penjaminan itu juga harus dibatasi dengan undang-undang agar tidak menebar provokasi, hoaks, kebencian dan segala macamnya. Karena pada prakteknya tidak sedikit kritik uang muncul dibalut dengan ujaran kebencian.
Tak dipungkiri, seiring dengan perkembangan kemajuan zaman, membuat banyak orang melek teknologi. Semua orang bisa mengakses setiap informasi, menyebar informasi dan mengemas informasi begitu muda. Melalui kemajuan teknologi, informasi bisa digunakan untuk tujuan yang positif. Namun dalam perjalanannya, tidak sedikit yang menyalahgunakannya menjadi sentimen negatif, seperti hoaks, provokasi dan ujaran kebencian.
Karena maraknya pesan negative itulah, kritik dan kebebasan berekspresi menjadi hilang esensinya. Semangat demokrasi menjadi hilang berganti dengan semangat saling membenci. Ketika kebencian ini bertemu dengan hoaks dan provokasi, maka akan membuat suasana gaduh baik di dunia maya ataupun nyata. Ketika kegaduhan tersebut terus digulirkan, akan memicu munculnya kelompok radikal untuk memanaskan suasana, dengan menyalahkan pemerintah atau pihak-pihak yang selama ini berseberangan. Akibatnya, masyarakat yang tingkat literasinya rendah, akan mudah diombang-ambingkan oleh informasi yang menyesatkan.
Kita semua tentu sepakat, bahwa kritik yang membangun, sangat diperlukan. Kritik membangun bisa memberikan manfaat yang baik. Kritik tetap harus mengedepankan azas kemanusiaan, saling menghormati dan menghargai. Kritik juga harus didasarkan pada informasi yang valid dan data yang akurat. Jangan sampai kritik berbalut kebencian yang bisa memicu perpecahan antar sesama umat. Karena potensi ini sangat mungkin terjadi di Indonesia yang penuh dengan keberagaman ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan hingga saat ini, penyebaran ujaran kebencian masih saja terjadi di media sosial. Bahkan, secara sengaja menyebarkan hoaks, provokasi dan ujaran kebencian, untuk tujuan yang tidak baik. Aparat kepolisian pun sudah berulang kali menangkap oknum tertentu, jika terbukti menyebarkan kebohongan dan mengancam persatuan. Namun yang dilakukan ini seringkali dibelokkan dan dimaknai sebagai upaya pembungkaman. Kebebasan berpendapat dibungkam. Mari kita introspeksi. Mari kita berpikir waras dan menggunakan logika. Jangan kita saling tuduh, saling mencari kesalahan dan kejelesakan, yang bisa merusak kerukunan dan toleransi yang telah ada.
Media sosial tidak boleh lagi menjadi media provokasi. Dan kita, sebagai generasi penerus negeri, juga jangan lagi menebar provokasi yang tidak ada fungsi. Mari tebarkan pesan damai. Kritiklah yang bisa memberikan inspirasi dan perubahan bagi negeri. Siapapun pemimpinnya, kalau salah memang harus dikritik, dievaluasi. Dan pemimpin yang dikritik atau dievaluasi, juga harus bersikap terbuka, tidak perlu tersinggung. Ingat, kita adalah makhluk sosial yang sudah semestinya saling mengingatkan satu dengan yang lain. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H