Di penghujung tahun 2020, ada berita yang cukup mengejutkan. Pemerintah menetapkan FPI sebagai ormas terlarang, dan melarang segala aktifitas ormas ini, berikut segala atributnya. Ormas ini dianggap telah melakukan berbagai aktifitas yang bisa meresahkan masyarakat dan negara. Tentu saja, keputusan ini menuai polemik di masyarakat. Banyak yang pro dan kontra, meski pemerintah juga punya kewenangan ini seperti yang diatur dalam UU Ormas.
Apa yang bisa dijadikan pembelajaran dari peristiwa pelaran ini? Seperti kita tahu, FPI memang seringkali melontarkan sentimen kebencian di setiap dakwahnya. Bahkan seringkali juga menebarkan provokasi, untuk melakukan tindakan-tindakan intoleran. Dan yang mengejutkan, anggota FPI tidak hanya yang terbukti melakukan tindak pidana, tapi juga ada yang terbukti bergabung dengan kelompok teroris.
Sentimen kebencian memang dekat dengan perilaku ormas ini. Tentu saja banyak orang berharap, dengan dibubarkannya organisasi ini, sentimen kebencian yang berkembang di masyarakat bisa berkurang. Namun jangan lupa, FPI bukanlah satu-satunya organisasi yang sering memunculkan kebencian. Individu-individu diantara kita pun juga banyak. Aparat keamanan sudah banyak yang menangkap para oknum, yang secara sengaja menyebarkan provokasi dan ujaran kebencian di dunia maya.
Memang, perkembangan teknologi informasi telah banyak disalahgunakan oleh sebagian orang, untuk mempercepat penyebaran ujaran kebencian. Praktek semacam ini dalam perkembangannya dilakukan oleh banyak pihak. Dan akibatnya, tidak sedikit yang menjadi korban provokasi, akibat rendahnya literasi masyarakat. Banyak yang langsung percaya terhadap informasi tertentu, tanpa harus memastikan lagi kebenaran informasi tersebut.
Sepanjang 2020 ini, banyak perisitwa konflik yang disebabkan oleh provokasi ujaran kebencian di media sosial. Tidak sedikit dari masyarakat yang memilih menjadi penyebar kebencian, tanpa alasan yang mungkin membuat sebagian dari kita tidak masuk akal. Banyak pertemanan putus karena terprovokasi hoaks dan kebencian. Banyak hubungan antar keluarga terganggu, karena perbedaan pilihan politik. Jika kita bisa mengendalikan bibit kebencian yang ada dalam pikiran, tentu segala ucapan dan perilaku yang keluar pun akan terjaga.
Indonesia adalah negara yang mempunyai tingkat keberagaman tinggi. Berbagai macam suku, agama, bahasa dan agama yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Dan keberagaman itu merupakan karakter dari Indonesia itu sendiri. Karena itulah, toleransi di Indonesia begitu kuat dan banyak diterapkan di semua suku-suku yang ada. Sayangnya, banyak perilaku intoleran yang terjadi seringkali dibungkus dengan motif agama. Perilaku tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang mengklaim dirinya paham agama. Seperti yang dilakukan oleh FPI, MIT atau jaringan teroris lainnya, yang selalu membungkus perilaku sesatnya dengan sentimen agama.
Narasi-narasi provokasi dan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama, harus disudahi. Banyak peristiwa yang bisa kita jadikan pembelaran, agar kita tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Dan di tahun 2021 mendatang, harus kita jadikan momentum untuk berkomitmen tidak lagi saling menghakimi, saling menghujat, atau saling berbuat yang tidak baik. Setiap agama di Indonesia tidak ada yang mengajarkan kebencian. Semua agama menjadi alat pemersatu umat. Dan semua agama mengajarkan untuk saling menghormati perbedaan. Mari membangun Indonesia dengan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H