Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aksi Massa dan Antisipasi Munculnya Narasi Kebencian

17 Oktober 2020   06:06 Diperbarui: 17 Oktober 2020   06:48 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persaudaraan - jalandamai.org

Belakangan ini, aksi unjuk rasa kembali marak terjadi, setelah pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. UU yang menuai polemik di masyarakat itu terus diprotes kalangan buruh dan mahasiswa, karena dianggap merugikan. Sementara menurut pemerintah dan pelaku usaha, UU tersebut justru menguntungkan semua pihak, baik itu buruh dan pelaku usaha. Selain itu juga bisa menarik investasi dan kembali menggeliatkan perekonomian yang saat ini sedang terkontraksi akibat pandemi dan resesi.

Pada kesempata ini, saya tidak akan membahas tentang kontraksi ekonomi akibat pandemi dan resesi. Namun, kebiasaan aksi massa yang selalu didomplengi dengan maraknya provokasi dan ujaran kebencian di dunia maya. 

Mungkin kita masih ingat ketika pilkada dan pilpres beberapa tahun lalu. Aksi unjuk rasa yang terjadi hampir setiap hari, selalu diikuti dengan masifnya ujaran kebencian yang diikuti dengan provokasi. Akibatnya, masyarakat yang tingkat literasinya rendah, mudah tersulut dan aksi massa pun terus terjadi. Apalagi ketika sentimen yang dimunculkan adalah sentimen SARA, akan semakin mudah tersulut.

Aksi 212 yang sering muncul ketika pilkada, kini seakan menjadi rutinitas. Bahkan ada istilah alumni 212 dan segala macamnya. Ketika aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law yang diinisiasi kelompok buruh, kemudian merembet ke mahasisawa, dan alumni 212 pun kembali muncul. Bisa jadi mereka murni menyuarakan aspirasi. Namun ketika pengerahan massa dalam jumlah besar, potensi disusupi dan terjadinya rusuh besar terjadi. Benar saja, aksi pertama hingga yang terakhir, selalu diakhiri dengan rusuh dan aksi bakar kendaraan dan fasilitas umum.

Seperti kita tahu, bibit intoleransi dan radikalisme di Indonesia ini belum sepenuhnya hilang. Kelompok ini masih aktif menyebarkan propaganda radikalisme di dunia maya. Mereka seringkali menciptakan momentum, atau mendompleng momentum, untuk bisa mengambil kesempata dalam kesempitan. Momentum seperti apa yang diharapkan kelompok ini? Tentu saja suasana kegaduhan, suasana kegundahan masyarakat, dan suasana ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah.

Ketika terjadi konflik, kelompok ini seringkali menyusup didalamnya untuk mengobarkan amarah. Ketika terjadi aksi unjuk rasa, pola yang sama seringkali diterapkan. Ketika kegaduhan dan kegundahan ini bertemu, seringkali mereka muncul dan memposisikan sebagai penyelamat atau problem solving. Pada titik inilah seringkali masyarakat terprovokasi dan kehilangan nalarnya. Solusi yang mereka tawarkan pun bermacam, dan yang paling sering adalah konsep khilafah.

Sadarkah semuanya ini selalu terjadi, bahkan polanya nyaris sama. Apakah ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat, atau yang 'mendisain' terjadinya rusuh orang yang sama. Biarlah menjadi urusan aparat kepolisian yang mencari dalang dibelakang ini semua. Sebagai masyarakat biasa, bisa lho sebenarnya kita juga bisa ikut meredam terjadinya provokasi. Salah satunya adalah dengan menginformasikan segala informasi secara obyektif, faktual dan tetap mengedepankan toleransi.

Dengan cara menulis informasi yang menyejukkan, provokasi yang marak di sosial media tersebut diharapkan bisa mereda. Kita juga bisa memberikan data atau informasi pembanding yang valid, agar ada pembelajaran di masyarakat. Dengan melakukan hal ini, kita secara tidak langsung bisa 'memprovokasi' orang lain untuk mengedepankan literasi dunia maya. Kecanggihan teknologi dan perkembangan digital seperti sekarang ini, semestinya bisa dimanfaatkan untuk bisa membiasakan diri dalam mengakses informasi yang benar. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun