Di era digital ini, perkembangan informasi begitu pesat. Informasi tentang apa saja, berasal dari mana saja bisa kita dapatkan dengan mudah. Informasi tentang gaya hidup, selebriti, keuangan, religius, apa saja bisa dengan mudah kita dapatkan. Perkembangan yang begitu pesat itulah yang membuat era digital seperti sekarang ini menjadi era yang sangat menyenangkan.
Perkembangan yang menyenangkan tersebut, sayangnya belum juga diimbangi dengan tingkat literasi yang cukup. Tidak sedikit dari masyarakat kita salah memahami informasi, karena salah mengakses informasi yang benar. Perkembangan teknologi telah membuat berita bohong dan ujaran kebencian berkembang begitu pesat. Perkembangan informasi yang menyesatkan itulah, yang kemudian banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Lebih mengkhawatirkan lagi, jika informasi yang berkembang tersebut terkait paham yang mengarah pada keyakinan tertentu, akan bisa membuat sensitive. Agama sejatinya bisa menjadi pesan damai bagi semua orang, karena pemahaman yang keliru bisa menjadi 'sarana' untuk mendapatkan kekuasaan, untuk saling menyalahkan karena merasa paling benar, saling mencaci dan menghujat.
Yang terjadi saat ini, masih ada sebagian orang yang merasa orang lain kafir, karena dianggap salah atau tidak sesuai dengan ajaran agama. Masih ada orang yang menilai sesat. Karena label sesat atau kafir itu, memunculkan provokasi dan kebencian di dunia maya.
Akibatnya, karena informasi yang menyesatkan tersebut dibalut kebencian, maka yang muncul adalah amarah. Mungkin kita masih ingat peristiwa pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara beberapa tahun lalu. Hanya karena terprovokasi oleh hoaks dan hate speech, amarah warga tak terkendalikan.
Mari kita menjadi pribadi yang bijak dalam mengakses informasi di era digital ini. Jangan menjadi provokator yang bisa memecah belah persatuan. Jadilah pribadi yang menyejukkan, yang bisa merangkul keragaman yang ada.Â
Jika kita masih memelihara bibit kebencian, niscaya kita akan sulit melihat suatu peristiwa secara obyektif. Kita akan selalu merasa paling benar dan menilai orang lain sebagai pihak yang salah. Sementara, perbedaan pada dasarnya merupakan hal yang ada di negeri ini sejak dulu. Jika masih ada yang mempersoalkan perbedaan agama, suku, bahasa dan lain sebagainya, mereka harus hijrah ke nilai-nilai kearifan lokal.
Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Setiap manusia juga mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan. Karena itulah, mari saling memanusiakan satu dengan yang lain.Â
Jangan merasa paling kuat, merasa benar, atau merasa mayoritas. Karena keberagaman itu adalah kita, dan kita adalah Indonesia. Mari menjadi manusia Indonesia yang humanis dan selalu merdeka. Salam, tetap saling menguatkan dan mengedepankan protokol kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H