Mungkin diantara kita masih ingat, fase ketika generasi muda kita banyak ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok ISIS. Mereka semua telah terpapar radikalisme, sampai akhirnya memilih meninggalkan semuanya dan bergabung ke ISIS. Mungkin kita juga pernah merasakan hidup di fase ketika ujaran tidak hanya berisi hal yang positif, tapi juga negative.
Dan ujaran negative itu bisa berupa kebencian, caci maki, umpatan, bahkan hingga provokasi untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Sadarkah kalau semua hal diatas merupakan bibit dari intoleransi? Ketika kita sudah terpapar intoleransi, maka kita akan semakin dekat dengan jaringan terorisme.
Saat ini, ujaran kebencian telah merasuki hampir semua orang. Mulai dari masyarakat biasa, hingga ke masyarakat yang berpendidikan sekalipun. Kalangan remaja begitu mudah sekali karena tidak suka dengan seseorang, malampiaskannya dengan menuliskan status di media sosial tentang kebenciannya terhadap orang yang dimaksud. Karena terus mendapatkan bisikan yang tidak tepat, tidak sedikit kaum muda memutuskan tali pertemanan, hanya karena perbedaan suatu hal.
Ketika memasuki tahun politik beberapa tahun lalu, penyebar ujaran kebencian tidak hanya dilakukan kaum remaja, tapi juga kelompok dewasa, termasuk para oknum elit politik itu sendiri. Masyarakat yang tingkat literasinya rendah, umumnya langsung mempercayainya. Apalagi yang berbicara adalah tokoh politik, tokoh masyarakat ataupun tokoh agama.
Dalam kasus pilkada DKI Jakarta ketika itu misalnya. Banyak sekali orang dengan latar belakang yang berbeda, dari berbagai kalangan yang berbeda, terus menebar kebencian. Bahkan tidak sedikit tempat ibadah yang disalahgunakan untuk menyebar kebencian.
Kebencian yang ada dalam diri merupakan cikal bakal dari intoleransi. Dan intoleransi merupakan cikal bakal dari radikalisme dan terorisme. Kebencian juga akan melahirkan fanatisme yang berlebihan. Merasa dirinya paling benar dan menganggap orang lain sebagai pihak yang salah. Segala hal yang dianggap berseberangan, dipandang sebagai hal yang sesat, kafir, dan lain sebagainya. Cara pandang ini berawal dari kebencian. Dan karena itulah, kebencian dalam diri harus dikontrol dan dihilangkan.
Menjadi tugas kita bersama untuk menyudahi praktek tersebut. Di era milenial ini, tidak boleh lagi ada yang saling membenci, menebar caci maki di media sosial, atau melakukan provokasi kepada kelompok tertentu untuk melakukan persekusi atas dasar apapun. Mari kita saling memberikan contoh dan pengingat bagi siapa saja. Bertutur dan berperilakulah sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada. Jangan mengadopsi paham atau budaya dari luar, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan tradisi yang ada di Indonesia.
Saatnya mengganti kebencian dengan cinta kasih. Saatnya mengganti amarah dengan keramahan. Jangan terus memukul, tapi saatnya merangkul. Indonesia adalah penuh keberagaman suku, budaya, bahasa dan agama. Semuanya harus bisa hidup saling berdampingan satu dengan yang lain. Jika bibit intoleransi itu masih ada, keberagaman dan kerukunan yang selama ini sudah terjalin, dikhawatirkan akan hancur. Semoga bisa jadi bahan renungan bersama. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H