Jika kita melihat propaganda radikalisme yang beredar di media sosial beberapa tahun kebelakang, seringkali menggunakan istilah-istilah agama. Bahkan tak jarang kelompok radikal menggunakan ayat-ayat suci yang dipahami secara dangkal, lalu disebarluaskan untuk mendapatkan simpati masyarakat. Pola menggunakan istilah keagaman ini, juga sering dilakukan oleh oknum tertentu untuk meningkatkan atau menjatuhkan elektabilitas pasangan calon ketika tahun politik beberapa waktu lalu.
Terkadang memang tidak habis pikir. Tidak ada ada satupun agama yang ada di bumi ini yang mengajarkan kekerasan, mengajarkan menebar kebencian, ataupun menebar teror. Yang terjadi justru mengajarkan tentang cinta kasih, kerukunan, saling menghargai dan tolong menolong antar sesama. Tidak ada agama yang menganjurkan untuk memperbanyak dosa, melalui saling seteru satu dengan yang lain. Tida ada pula agama yang menganjurkan untuk menebar hoaks ataupun ujaran kebencian.
Jika ada pihak yang mengatasnamakan agama tertentu, lalu justru cenderung mengumbar pernyataan yang provokatif, menghalalkan segala hal yang dianggap bagian dari menegakkan agama, menghalalkan darah orang yang berbeda keyakinan, ataupun yang merasa dirinya paling benar dan menilai orang lain sebagai pihak yang salah, harus kita waspadai. Salah satu bentuk kewaspadaan ini bukan diimplementasikan dengan perlawanan perbuatan serupa. Tapi harus membekali diri dengan literasi yang kuat.
Apa itu literasi? Sebuah perilaku untuk memastikan informasi yang kita serap adalah informasi yang benar, tepat dan valid. Perilaku yang dimaksud adalah cek ricek, cari informasi pembanding, tanya ke pihak ang bersangkutan, dan lain sebagainya. Aktifitas cek ricek ini akan memperkaya kita tentang suatu informasi. Kita jadi bisa melihat secara terbuka dan utuh, tidak hanya berdasarkan pada satu sudut pandang saja. Literasi sangat penting di era kemajuan teknologi informasi seperti sekarang ini.
Selain literasi, pemahaman agama yang utuh dan benar juga diperlukan. Kenapa? Karena tidak sedikit kelompok atau pihak yang terpapar radikalisme, seringkali menggunakan ayat-ayat suci untuk mempengaruhi masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemahaman tentang jihad. Dalam Islam meman dijelaskan tentang jihad. Jihad di era Rasulullah SAW pernah ditunjukkan dengan cara perang melawan kelompok kafir. Ketika era kemerdekaan, sempat ada resolusi jihad untuk bertempur melawan penjajah. Di era milenial ini, makna jihad telah dibelokkan dan hanya dimaknai sebagai perang. Padahal, jihad yang sesungguhnya adalah melawan hawa nafsu manusia itu sendiri. Segala upaya untuk menebar kebaikan, semestinya dimaknai sebagai jihad di era milenial.
Sekali lagi, tidak ada agama yang radikal dan agama tidak pernah mengajarkan untuk menjadi radikal. Tapi cara seseorang yang memahami agama itulah yang radikal. Seringkali pemahaman mereka hanya sepotong, dan tidak pernah melihat berdasarkan konteksnya. Akibatnya, pemahamannya pun tidak utuh. Mari kita belajar bersama. Namun jangan sampai dalam proses belajar ini bersifat eksklusive. Mari tetap open mind, agar kita bisa melihat segalanya secara utuh dan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H