Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kendalikan Amarah, Belajar Memaafkan Sejak Dini

10 Maret 2018   14:02 Diperbarui: 10 Maret 2018   14:03 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stop SARA - eksrima.com

Entah sengaja atau tidak, jelang pilkada dan pilpres, masyarakat kita seketika berubah menjadi masyarakat yang mudah tersinggung, mudah membenci, bahkan mudah melakukan persekusi. Praktik ini intensitasnya selalu meningkat jelang pesta demokrasi. Ketika pilkada DKI Jakarta ketika itu, muncul organisasi Saracen, yang menawarkan jasa menyebar bibit kebencian untuk memecah belah suara. Pasangan calon tertentu akan terus dihujani informasi hoax agar elektabilitasnya menurun. Bahkan, tak jarang sentimen agama juga disisipkan, untuk memancing amarah masyarakat.

Jelang pilkada serentak dan pilpres 2019, pola yang sama nampaknya kembali diulangi. Satu persatu ditangkap oleh polisi, karen oknum yang menyebarkan pesan kebencian, hoax, dan provokasi. Bahkan, muncul organisasi bernama Muslim Cyber Army (MCA). Organisasi ini dengan sengaja menebarkan kebencian, membuat informasi menyesatkan, menyebarkan berita penculikan ulama padahal hal tersebut tidak ada. Saling adu domba antar saudara justru dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Sungguh sangat ironis.

Pesta demokrasi harusnya diisi perang gagasan, bukan perang kebencian. Pilkada harusnya diisi dengan suka cita, bukan kemarahan yang membabi buta. Jangan pecah belah negeri ini dengan amarah sesaat. Ingat, kita punya sejarah mengenai adu domba ini. Ketika era penjajahan, semangat untuk merdeka sempat surut ketika penjajah memecah belah para pejuang dengan politik adu domba. Beruntung karena kuatnya persatuan dan kesatuan ketika itu, politik adu domba ini tidak mempunyai pengaruh sama sekali. Sampai akhirnya, kemerdekaan itu bisa kita rebut dan bisa dirasakan oleh anak cucu hingga saat ini.

Beberapa pekan lalu, aksi memburu orang gila marak terjadi diberbagai daerah. Pemicunya adalah para ulama disejumlah daerah mendapatkan penyerangan. Ironisnya, hampir semua pelakunya adalah orang gila. Bagaimana orang gila bisa memilih orang yang akan diserang? Apakah hal ini karena faktor ketidaksengajaan atau justru sebaliknya? 

Dalam waktu yang relatif bersamaan, muncul informasi bahwa dalang semua itu adalah PKI. Penyerangan ulama merupakan indikasi bangkitnya kembali komunisme. Kini, muncul MCA yang terbukti menyebarkan berita mengenai provokasi penyerangan ulama. Mereka sengaja menyebarkan informasi bahwa PKI bangkit lagi, agar menimbulkan amarah masyarakat.

Kenapa ulama yang menjadi sasaran? Apakah hal ini merupakan upaya untuk kembali mengadu domba melalui sentiment agama seperti di pilkada DKI Jakarta? Menjadi tugas kita bersama untuk selalu waspada. Karena jika pilkada hanya digunakan sebagai ajang untuk menggalang permusuhan, tentu akan sangat merugi bangsa ini. Bangsa yang kaya akan sumber daya alam, berpotensi hancur karena masyarakatnya terus bertikai. Mari belajar memaafkan dan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Karena melalui memaafkan, kita akan senantiasa memanusiakan manusia, menjaga tali silaturahmi, dan tetap menjaga toleransi dan kerukunan antar umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun