Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Isu SARA dan Perang Opini di Dunia Maya

2 Februari 2018   08:26 Diperbarui: 2 Februari 2018   08:32 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perang opini melalui media social bukan hal baru lagi di Indonesia. Sejak Obama mencalonkan diri menjadi presiden  Amerika Serikat pada 2008 lalu, telah menginspirasi banyak kalangan untuk menggunakan cara itu bukan saja untuk kampanye melainkan untuk menarik simpati.

Kita tentu ingat , mantan Presiden SBY sangat aktif memanfaatkan media social untuk mengemukakan pendapat (atau perasaannya) sampai memberitahukan ke khalayak soal program-programnya.  Kemudian momentum Pilpres 2014 juga banyak memanfaatkan media social sebagai sarana kampanye dua kandidat pemimpin negara Indoensia. Pada masa itulah media social dan media online seakan bersinergi untuk mendapatkan simpati rakyat. Lantas cara itu diadaptasi juga oleh para calon pemimpin pada saat Pilkada Jakarta tahun 2016-2017 diaman mereka banyak memanfaatkan media social untuk mendapatkan simpati.

Pilkada serentak 2018 ditengarai nyaris sama dengan Pilkada DKI 2017 lalu. Persamaan itu terdapat pada aktifnya para kandidat memakai media social sebagai alat kampanye. Media online kemudian juga menangkap isu-isu yang dilontarkan oleh media social sehingga bisa menjadi berita regular.

Kita lihat data 2016 lalu. Tempo mencatat bahwa sejak akhir September sampai awal Oktober tahun 2016 ada sekitar 243 ribu percakapan di media social tentang tiga kandidat pasangan calon Gubernur dan wakil gubernur. Jumlah itu adalah jumlah yang luar biasa.

Media social atau dunia maya memang alat yang mudah dan murah bagi masing-masing kandidat untuk menyampaikan pesan dan programnya ke khalayak. Dunia maya memungkinkan seseorang berkomunikasi langsung tanpa batasan ruang dan waktu. Orang bisa dengan cepat menilai apa yang dilontarkan para kandidat melalui dunia maya. Bahkan ekspresi muda mauoun lontaran  spontan dari mereka (missal mereka memakai Youtube atau video dai fb dan twitter) Ini adalah hal istimewa yang dimiliki oleh media social.

Hanya saja ada beberapa sisi negative dari gaya kampanye atau usaha mendapat simpati dari konstituen, yaitu banyaknya akun anonym media social yang berfungsi berperang melawan kandidat lawan. Hal kedia dari sisi negative itu adalah akan adanya lontaran isu Suku Agama Ras dan antar Golongan (SARA) yang diunggah oleh akun-akun anonym itu. Lontara isu SARA itu sering memakai kata-kata kasar.

Konyolnya para simpatisan kandidat tertentu terpancing dan kemudian larut dalam perang-perang opini yang menggunakan isu SARA. Masyarakat yang ikut terpancing biasanya kurang memahami aturan bermedia social yang baik. Akibatnya perang opini politik yang bermuatan SARA menjadi peluru tajam yang bisa memecah bangsa.

Karena itu, kita harus sadar bahwa kita harus paham dahulu aturan bermedia social dalam kondisi politik seperti sekarang ini. Kedua , kita jangan terjebak dengan memakai isu SARA sebagai peluru mematikan  karena dampaknya sangat menyedihkan bagi kita dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun