Terkait pemblokiran 19 situs Islam yang bermuatan radikal oleh Kemenkominfo dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), belakangan muncul pendapat dari beberapa pengamat dunia maya yang menyebut bahwa kasus tersebut menandakan tidak adanya self-censorship dari situs-situs yang bersangkutan.
Menurut saya, hal tersebut masuk akal karena jika berbicara mengenai penyensoran internet, maka sama-sama berbicara mengenai otoritas, dalam hal ini pemerintah melalui undang-undang, khususnya yang berkaitan dengan teknologi informasi. Jika pemerintah menemukan hal-hal yang berlawanan dengan hukum yang berlaku, apalagi yang membahayakam negara seperti radikalisme, maka muncul wewenang untuk menindak lanjutinya, seperti contoh memblokir situs terkait.
Adapun mengenai self-censorhip sendiri merupakan wewenang penindakan atas rujukan dari pihak ketiga mengenai adanya konten-konten yang meresahkan, mengancam, dan menyalahi hukum. Pihak ketiga, dalam hal ini masyarakat, dapat melaporkan hal-hal terduga kepada pemerintah untuk kemudian ditindak lanjuti dengan mengecek ulang. Namun, bukan berarti hanya menunggu umpan saja, pemerintah juga melakukan kegiatan pemantauan secara acak dalam waktu berkelanjutan. Apabila laporan dan hasil pemantauan dirasa menyalahi hukum, maka akan langsung ditindak dengan tegas.
Hal tersebut sebenarnya serupa dengan kebijakan yang diterapkan oleh media sosial seperti Facebook dan Twitter, dimana dikenal dengan fitur report as spam. Fitur ini merupakan fitur self-censorship yang dapat digunakan oleh pengguna jika menemukan konten yang dianggap mengganggu dan menyalahi peraturan yang berlaku. Ketika report as spam diterima, media sosial bersangkutan akan memeriksanya, dan jika terbukti mengganggu, maka tidak segan-segan akan diblokir sepihak.
Kaitannya dengan kasus diblokirnya 19 situs Islam bermuatan radikal adalah bahwa seharusnya seluruh situs tersebut memiliki fasilitas self-censorship sehingga para pengunjungnya dapat berpartisipasi memantau apakah ada spam atau tidak. Kita kan hidup di negara demokrasi, jadi penikmat kabar di dunia maya memiliki hak untuk turut memantau konten yang disajikan. Oleh karena itu, seharusnya situs-situs terkait menyediakan fitur laporan guna menghadirkan konten yang fair.
Jika pada akhirnya pemerintah yang turun tangan langsung menindak tegas situs-situs 'nakal', hal tersebut menandakan bahwa para situs terkait tidak memiliki self-censorship yang baik. Tentunya tugas negara memastikan kondisi kehidupan berbangsa dan bertanah air aman dari ancaman radikalisme, dan pemblokiran untuk tujuan deradikalisasi Dini adalah hal yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H