Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Studi Kritis Sistem Remunerasi Dosen

16 April 2016   23:12 Diperbarui: 17 April 2016   06:07 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika sebuah policy tidak ditanyakan kepada yang ahlinya maka tunggulah gagalnya tujuan kebijakan itu. Hal ini kemudian terbukti di implementasi sistem remunurasi dalam hal ini di kampus penulis bekerja Universitas Lampung (UNILA). UNILA itu lembaga publik, sehingga manajemennya harus juga ilmiah dan ada mereka yang mengkajinya juga secara ilmiah. 

Sehingga ketika tidak ditanya pada mereka yang belajar ilmu pemerintahan dan kebijakan publik maka yang terjadi adalah justru kebijakan remunerasi seperti berjalan di tempat, tidak ada pengaruh apapun terhadap kinerja para dosen dan karyawan yang ada malah kemudian terjebak dalam rezim administrasi yang membuat para academia malah turun kinerjanya. Ada dua kritik yang disampaikan di tulisan ini tanpa mencoba masuk ke berapa pantas nominal jumlah rupiah yang kami terima yang selama ini jadi perguncingan di kampus.

Kritik yang pertama adalah tentu saja model pembuatan kebijakan yang sangat tidak partisipatif. Tidak ada misalnya ruang publik untuk mendiskusikan kebijakan ini diantara stakeholders yang ada. Yang terjadi kemudian adalah para elite diskusi dan sudah merasa mewakili kepentingan orang seluruh kampus. Jika hari ini banyak dari pemikir demokrasi dan kebijakan publik merekemendasikan pembuatan kebijakan yang partisipatif, maka kebijakan remunerasi kali ini jauh dari kata partisipatif.

Kritik yang kedua dikarenakan tidak adanya sentuhan mereka yang mengkaji birokrasi dan lembaga publik secara ilmiah maka kebijakan ini terjebak menjadikan dosen menjadi birokrat. Kinerja yang diukur bukan dari kualitas service pengajaran dan penelitian yang dosen lakukan tetapi terjebak kedalam rezim administratif. Untuk mencapai kinerjanya dosen masih saja harus terjebak kerja mengumpulkan SK Dekan dan SK panitia sebagai bukti dia bekerja.

Salah satu yang membuat miris adalah adanya ukuran kinerja dosen yang dinilai dengan absen dua kali dalam sehari persis sama dengan para birokrat. Padahal kerja dosen di manapun di dunia tidak terikat waktu kerja. Dosen saya sewaktu di ANU bahkan bisa pulang jam 12 malam dikarenakan deadline jurnal internasional. Seorang dosen bisa saja misalnya lebih nyaman bekerja di perpusatakaan umum ketimbang harus ngantor. Melayani mahasiwa bisa saja di luar kampus tetapi di sebuah cafe di luar kampus. 

Seorang dosen yang melakukan penelitian bisa saja sebulan di pelosok Lampung Barat karena sedang melakukan ethnografi. Seorang dosen bisa saja bahkan setahun tidak mengajar dan ke kampus tetapi menyendiri di sebuah vila di Tanggamus dikarnakan sedang sabatical menulis buku. Inilah aktivitas-aktivitas ilmiah yang tidak boleh diikat oleh waktu dan ruang. Bahkan dalam sistem remunerasi UNILA, ikut upacara termasuk kinerja dengan bukti berupa absen. Persis sama dengan apa yang dilakukan PEMDA.

Secara teoritis bagi kami yang belajar birokrasi dan manajemen pemerintahan ada dua model pegawai publik yakni birokrat (civil servant) dan pelayan publik (public servant). Jika civil servant tidak berhubungan langsung dengan masyarakat yang dilayani maka dia dikenal dengam birokrat. Sedangkan public servant mereka adalah yang berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga mereka bukanlah birokrat, contohnya guru, dosen, tenaga medis yakni dokter dan perawat dll. Karena dua model ini berbeda jenis kerjanya maka mengukur kinerjanya juga berbeda. Birokarat diukur dengan aspek ketaatan terhadap atasan yang wajar jika filosofisnya adalah hirarki. 

Sedang pelayang publik atau public servant maka cara mengukurnya adalah bukan pada aspek ketaatan kepada atasan atau semakin tinggi dalam hirarki ( fungsional ) maka semakim tinggi incentive. Public servant diukur kinerjanya sesuai dengan kepuasan yang dilayani dalam hal ini mahasiswa yang diajar dan target kerja yang dibebankan dalam konteks kampus seberapa berkualitas publikasi penelitian. Sehingga kemudian grade incentive didasarkan kepada seberapa puas mahasiswa dalam pengajaran dan seberapa berkualitas penelitian dengan indikator publikasi.

Di Unila sejauh penulis mengikuti sosialisasi paradigma ini hilang dari sistem grade remunerasi ini. Yang terjadi kemudian adalah tetap saja grade ditentukan oleh hirarki apakah Professor agau asisten ahli dan seberapa rajin absen dan mengumpulkan SK mengajar. Di Unila juga masih ada paradigma atasan minded bukan consumer minded yang selama ini menjadi teori yang marak digunakan di berbagai negara. Unila masih didesign dengan cara birokrasi tradisional weberian yang hirarkis dan prosedural minded ketimbang costumer minded. 

Padahal dinamika teori menajemen publik sudah menganggap birokrasi model tradisional Weberian ini sudah ketinggalan zaman dengan dinamika pemerintahan hari ini. UU ASN sendiri yang kebetulan penulis pernah ikut membahas RUU nya bersama ketua KOMISI ASN Prof Sofian Effendi sebenarnya membawa paradigma ini yakni adanya pemisahan anatara public servant dan civil servant. Jadi jika ada inovasi mengkur kinerja yang berorientasi pada kepuasaan yang dilayani maka ini tidak bertentangan dengan semangat UU ASN.

Lalu apa solusinya ? Jika mengukur kinerja bukanlah dengan mengkur seberapa rajin dosen mengumpulkan SK Dekan dan absen maka harus ada cara kreatif. UNILA bisa menggunakan survey online yang digunakan tim jaminan mutu UNILA untuk menentukan kinerja dosen dan di grade berapa dia berada menurut survey mahasiswa. Di UNPAD misalnya mahasiwa tidak bisa melihat nilai online tanpa terlebih dahulu mengisi survey kinerja dosen. Hal yang sama dilakukan banyak universitas di dunia. I'm 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun