Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Politik

Blunder Putusan MK ?

23 Agustus 2024   19:00 Diperbarui: 23 Agustus 2024   19:04 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan MK yang baru bisa jadi blunder kelembagaan politik kita ? Mengapa ?

MK itu memang lembaga yang terhormat.  Akibatnya bisa fatal. Salah satu yang fatal tanpa konsultasi dengan ahli adalah tindakan mengubah sistem pemilu proporsional kita dari daftar terbuka nomor urut dengan Bilangan Pembagi Pemilih 30 persen sesuai UU 12/2003  ke sistem proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak.

Akibatnya fatal, padahal banyak studi mengatakan bahwa sistem pemilu seperti ini menjadikan biaya untuk menyogok pemilih lebih murah ketimbang distrik murni. Akibatnya hal ini menyuburkan politik uang (baca: https://www.nytimes.com/2005/03/16/opinion/afghanistan-the-wrong-voting-system.html )

Logika sederhananya satu dapil partai besar seperti PDIP rata rata mengamankan 2 kursi. Nah caleg kemudian berpikir untuk bagaimana mengamankan 1 kursi yang jika diconversikan ke suara paling cuma beberapa orang pemilih (anggap saja 1/8). Beberapa orang inilah menjadi sasaran tembak politik uang. Calon tak perlu keluar biaya menyogok 50 persen plus satu pemilih seperti dalam sistem satu distrik satu perwakilan. Persaingan justru terjadi di dalam partai sendiri untuk merebutkan 1 atau 2 kursi yang kemungkinan direbut partai. Secara cost untuk money politics hal ini lebih murah.

Nah untuk peraturan yang baru dibuat MK yakni syarat 7-10 persen, hitungan teman saya mantan anggota KPU Fardi Achyar maka memungkinkan calon 8 sd 10 paslon. Klo uu pilkadanya gak diubah tekait syarat calon yang menang yaitu haus suara terbanyak 50 persen plus 1 sehingga ada putaran kedua, maka seorang cakada cukup menang 15 persen saja. Akan ada 85 persen orang yang tidak milih dia. Ini tentu cacat secara legitimasi. Dan yang paling nyata ini akan membuat calon cukup menyogok 15 persen orang bodoh dengan money politics untuk menang. Akibatnya akhirnya sistem seperti ini malah memberi incentive bagi calon untuk berlomba lomba melakukan politik uang karena costnya yang murah tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun