Bila kita bandingkan dengan Malaysia, relatif Perguruan Tinggi (PT) kita hari ini semakin tertinggal. Di peringkat universitas-universitas di Asia versi QS dan THES, PT kita semakin jauh tertinggal ketimbang Malaysia yang dulu sempat berguru ke Indonesia. Bagaimana cara memperbaiki ini ? Harus memulai dari mana ? Tulisan ini mencoba mengurai masalah ini untuk mencari solusi bagi stake-holders pendidikan tinggi di Indonesia. Tulisan ini lebih khusus lagi ditujukan ke menristek DIKTI dan pimpinan-pimpinan PT agar kedepannya dapat berbenah diri.
Perubahan yang paling mendasar adalah perbaikan kelembagaannya terutama birokrasinya. Beberapa PT sudah benar dengan memberi incentive berupa tunjangan remunerasi di luar gaji pokok. Dalam banyak teori organisasi incentive adalah upaya untuk meningkatkan kinerja yang dapat membuat individu dalam organisasi publik dapat berkerja lebih baik. Namun kemudian yang harus dibenahi adalah system evaluasi kinerja haruslah berbasis pada target kerja bukan administrasi kerja. Dengan kata lain orientasi hasil kerja dari birokrasi harus beralih dari ketercapaian administrasi yang legal formalistik seperti kesusuaian dengan prosedur dan kepatuhan terhadap atasan ke hal yang lebih bersifat kualitas layananan.
Siapa yang mengevaluasi ? Karena fokusnya ke penerima layananan maka penerima layananan lah yang mengevaluasi. Misalnya, mahasiswa mengevaluasi melalui polling online tentang kinerja kepagawaian. Dosen mengevaluasi kinerja pegawai dalam mengurus kepangkatan secara online misalnya. Dan ketika menurut yang dilayani pelayan masyarakat itu mampu melayani dengan baik maka berhaklah mereka mendapat tunjangan yang lebih sebagai incentive atas layanan prima itu. Selama ini di Indonesia bahkan evaluasi berbasis kinerja jarang dilakukan. Gunakan IT seharusnya agar lebih mudah. Untuk itu inovasi dari pimpinan universitas agar evaluasi kinerja beralih dari rezim administrasi ke rezim manajamen publik seperti contoh diatas mutlak dilakukan.
Hal diatas sebenarnya sudah dilakukan di banyak Universitas di luar negeri. Di universitas Leeds misalnya, tempat penulis saat ini belajar, atau Australian National university tepat penulis menyelesaikan master, setiap mendapat layanan selalu ada email berisi tentang link website berupa questioner berisi seberapa baik layanan yang memberi pelayanan. Dari input penerima layananan inilah kemudian ditentukan grade kinerja yang kemudian berpengaruh terhadap incentive.
Ketika biorkrasi direformasi, maka kemudian kinerja dosennya juga jangan lupa dievaluasi. Hampir sama dengan birokrasi, yang melakukan evaluasi adalah mahasiwa melalui questioner lewat email tadi. Kinerja dosen tentu harus ditopang selain dengan incentive tunjangan kinerja dan lain sebagainya tetapi juga ketersedian fasilitas yang memadai dan birokrasi yang melayani. Hari ini beban dosen luar biasa berat. Kebijakan menristek DIKTI mendorong bahkan mewajibkan dosen melakukan publikasi internasional atau jika tidak mencabut tunjangan dosen.
Sayangnya, hal ini ibarat pemilik tim Formula Satu (F1) Manor yang cuma mau pembalapnya menang atau jika tidak gajinya ditahan. Pembalapnya bisa jadi hebat seperti Rio Haryanto, namun mobilnya (fasilitas) dan mekaniknya (birokrasi) masih payah. Tetapi “sang bos” cuma bisa terus mengancam agar pembalap menang balap formula satu atau minimal menyusul tim tetangga (Malaysia).
Dalam Bahasa ilmiahnya sebuah kampus jika ingin maju tidak hanya menggunakan instrument incentive (baca : tunjangan), tetapi juga meminjam istilah Amartya Sen “capability approach” yang dalam hal ini mekanik yang handal alias birokrasi yang memudahkan dan mobil yang canggih alias sarana dan fasilitas. Bagaimana mau berlomba balap mobil jika pembalapnya lebih sibuk mengurus administrasi lomba balap yang seharusnya jadi tugas pegawai administrasi. Bagaimana kemudian tahu perkembangan ilmu pengetahuan dan memberi kontribusi ke pengetahuan jika kemudian infromasi perkembangan ilmu pengetahuan lewat jurnal ilmiah bereputasi tidak dapat diakeses oleh dosennya.
Yang terakhir keterbukaan dan keterlibatan partisipasi publik itu penting dan mendesak. Keterbukaan tentang lowongan rekrtutment dosen kontrak dan karyawan wajib hukumnya untuk menghindari praktik nepotisme. Rekrutmentmahasiswa terutama jalur mandiri juga harus terbuka dan harus bebas dari “titipan”agar iklim belajar di Universitas dapat berjalan baik. Mendidik anak bangsa itu tidak hanya soalakademik tetapi juga integritas. Bagaimana mau berintegritas jika proses masukmahasiwanya melalui praktik “titipan”. Terakhir keterlibatan masyarakat dalam mengawasi proyek-proyek tender pembangunan mutalak dilakukan. Jangan sampai adalagi kasus korupsi pembangunan fisik di kampus seperti banyak kasus terjadi lagi karena lemahnya pengawasan publik tadi.
Rekrutmen dosen di PTN pun harus terbuka. Di Inggris, Australia bahkan Malaysia sistem kerja dosen adalah kontrak, maksudnya agar universitas dengan mudah mengontrol kinerja dosen, jika bagus terus dan jika buruk tidak diperpanjang kontraknya. Dosen pun begitu persis pemain bola, kalau bagus bisa pindah ke MU, kalau sudah mau pensiun atau masih muda dan memulai karir bermain di klub kecil. Di Indonesia dosen kontrak mulai diterapkan, oleh sebagian universitas berwawasan rendah sayangnya bukan untuk mengontrol kinerja tetapi untuk dengan mudah menjadikan anak, menantu, ponakan menjadi dosen.
Keterlibatan swasta mutlak di era kampus modern saat ini. Jika universitas mampu memperbaiki governancenya, maka fundingakan mudah didapat. Kuncinya perbaikan birokrasi dan penerapan manajerial yang bagus di universitas, istilahnya “good university governance” seperti yang diurai di atas. Selama itu tidak diperbaiki maka secara rasional tidak mungkin swasta mau menyumbang seperti James Riady menyumbang ke National University of Singapore, atau Tahir menyumbang di UGM. Orang kaya di Indonesia banyak yang bisa bersinergi dengan kampus, tetapi mereka lebih memilh menyumbang ke kampus di luar negeri.
Sangat wajar jika melihat kampus di Indonesia “rusak” maka bunuh diri jika menyumbang. Jika kembali ke sistem dulu berharap dengan APBN hasilnya akhirnya stagnanansi. APBN tetap perlu, pemerintah juga tidak boleh lepas tangan, karena pemerintah juga berkepentingan dengan research untuk menunjang industrialisasi atau yang ilmu sosial kebijakan berbasis research dan tentu pendidikan warganya. Jika semua ini dibenahi insya Allah PT kita tidak tertinggal bahkan dapat menyusul kampus-kampus besar di luar negeri. Jangan sampai kemudian yang telah terjadi di Indonesia otonomi kampus semacam lepas tanggung jawab negara, sedang bagi universitas diberi wewenang otonomi malah semacam "kesempatan" untuk berbuat lebih bagi diri keluarga dan teman dekat