Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemiskinan Daerah dan Kreatifitas Pemerintahan, Studi Kasus Lampung

20 Oktober 2015   10:23 Diperbarui: 23 Oktober 2015   05:09 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Muda tidak menjamin kreatifitas dan inovasi dalam pemerintahan jika dalam proses pemilihannya mengandalkan politik uang. Begitulah yang saat ini terjadi di Lampung. Setalah satu tahun menjabat, praktis tidak ada perubahan berarti dalam pemerintahan dan pembangunan. Listrik tetap sering padam akibat kurang daya, birokrasi masih seperti yang dahulu, pembangunan infrastuktur nyaris tidak terdengar, kalaupun ada hanya menumpang proyek pembangunan jalan tol pemerintah pusat. Kriminalitas masih merajalela bahkan Lampung jadi pengekspor "begal motor" ke Provinsi lain. Mengapa stagnasi pembangunan bisa terjadi di Lampung padahal Gubernurnya adalah sosok muda yang seharusnya lebih inovatif dan kreatif. Tesis yang diangkat di tulisan ini bahwa kreatifitas pemerintahan tidak akan muncul dalam sistem pemilihan kepala daerah yang didasarkan politik uang.

Sistem politik dimana terjadi diskriminasi didasakan kepemilikan kapital nampak nyata terjadi di Lampung. Lampung adalah contoh nyata dari extractive political institution dimana institusi politiknya didasarkan kompetisi kapital ketimbang visi dan misi. Naiknya Ridho Ficardo tidak lepas dari sumbangsih dana kempanye besar-besaran dari Sugar Group Company. Selama ini masyarakat Lampung tidak pernah tahu siapa dan apa kiprah Ridho Ficardo sebelum dia dicalonkan Partai Demokrat menjadi calon Gubernur Lampung. Dengan kekuatan uang dan blow up media lokal yang juga haus akan uang iklan, Ridho Ficardo menjadi sosok bubble political image yakni cepat membesar tanpa track record dan ide besar apa yang ditawarkan.

Sistem politik lokal inilah yang membuat kesempatan untuk tampil di panggung politik mengalami diskiminasi sebagaimana tesis Acemoglo dan Robinson ( 2012 ) tentang extractive political institution diatas. Sistem politik yang padat modal ini membuat banyak potensi politisi yang baik seperti Ridwan Kamil dan Tri Rismarini tidak pernah muncul ke panggung politik karena tidak punya modal politik utama yakni uang.

Politik lokal di Lampung yang extractive dapat dilihat dari catatan penulis tentang pemilukada 2014 yang lalu. Dalam pemilukada 2014 yang lalu pertarungan Ridho Ficardo dan Herman HN selain pertempuran uang juga pertempuran antara walikota yang punya inovasi dan kreatifitas dalam pemerintahan yakni Herman HN versus yang tidak punya sama sekali track record dan murni kapital yakni Ridho Ficardo. Hasilnya track record yang baik tidak cukup untuk mengalahkan kekuatan kapital. Uniknya di pemilukada Bandar Lampung2015 ini, Herman HN diusung oleh Partai Demokrat yang ketua nya seteru lamanya Ridho Ficardo. Ini adalah bentuk "menyerah" nya Herman HN atas kekuatan kapital Ridho Ficardo dan kekuatan modal di baliknya ( Sugar Group ). Jika politik adalah "tidak ada makan siang gratis" lalu apa kompensasi dari Herman HN atas "perahu partai" dari seteru lamanya itu ? Jawaban dari wawancara baru-baru ini dengan calon kepala daerah yang didukung sugar group menarik untuk disimak. Sang calon kepala daerah berujar bahwa "Herman tidak akan mencalonkan diri di pemilihan Gubernur Lampung mendatang, dia akan memilih jadi anggota DPR ketimbang menghadapi Ridho Ficardo sebagai imbalan atas pencalonan ini". Lebih lanjut beliau berujar bahwa Herman HN dianggap sudah "habis" modal uang jika berhadapan dengan Ridho. Ditambahkan oleh sang calon bahwa bagi Ridho mudah untuk tetap melenggang mulus untuk priode kedua selanjutnya dengan kekuatan modal yang ada.

Fakta wawancara di atas menjadikan politik lokal di Lampung kedepan dipastikan akan mematikan peluang munculnya calon kepala daerah potensial di pemilukada yang akan datang. Partai politik tentu saja akan berhitung akan besarnya modal untuk mengalahkan Ridho. Mereka akan lebih berpikir pragmatis mencari modal ketimbang berkompetisi dengan Ridho.

Lalu apa hubungan fakta diatas dengan pemerintahan yang inovatif dan kemiskinan ? Jika kembali ke tessis Acemoglu dan Robinson di "Why Nations Fail", kemiskinan disebabkan oleh extractive political dan economic institution. Extractive political institution seperti di Lampung akan membuat kepala daerah minim kreasi dan inovasi karena kreativitas dan inovasi pemerintahan bukanlah modal utama untuk menang pilkada tetapi uanglah yang utama. Kepala Daerah tidak dituntut untuk membangun listrik, jalan, reformasi birokrasi karena bagi mereka itu tidak penting, yang penting adalah mencari uang untuk dana kempanye atau tetap menjaga kepentingan sang induk semang yakni pengusaha pembiaya kempanye. Bagi mereka semua partai bisa dibeli, dan cukup sisakan partai untuk calon "boneka" agar tidak ada calon tunggal. Sedangkan bagi mereka yang punya visi misi dam track record, jangan dibiarkan tumbuh berkembang, biarkan layu dengan memberi suap kepada elite partai. Akibatnya bisa jadi hari ini ada "Ridwan Kamil" Lampung, namun dia sudah layu sebelum berkembang.

Inilah kemudian menjadi penyebab minimnya infrastruktur dan susahnya iklim wirausaha yang berdasarkan kreatifitas tumbuh di daerah yang sistem politik dan ekonominya extractive seperti di Lampung. Kepala daerah tidak dituntuk untuk menyediakan itu. Ekonomi di Lampung tidak akan ditopang oleh jiwa kewirausaan karena jika ingin jadi wirausaha maka harus punya koneksi dengan pemerintahan. Hampir semua pengusaha yang lahir dari institusi yang extractive adalah pengusaha yang punya hubungan koneksi dengam politisi dan partai politik. Akibatnya adalah daerah susah berkembang secara ekonomi karena minimnya wirausaha dari rakyatnya. Rakyat tidak diberi kesempatan yang sama untuk jadi wirausahawan. Sistem ekonominya diskriminatif dan hanya melayani mereka yang punya koneksi dengan kepala daerah. Jika pun rakyat berwirausaha, maka wirausaha yang tumbuh adalah wirausaha informal seperti pedagang kaki lima yang tidak membutuhkan koneksi dengan pejabat. Padahal salah satu ciri negara yang sejahtera dan maju adalah banyaknya jumlah pengusaha.

Jika kita belajar dari negara maju, maka buku "why nations fail" diatas memberi contoh bagaimana seharusnya institusi ekonomi dibangun. Negara maju seperti Amerika, Korsel, Jepang dan Eropa basis ekonominya adalah wirausaha yang berbasis inovasi, teknologi dan kreatifitas. Coba kita cek orang kaya di Amerika di majalan Forbes bahwa pengusaha seperti Bill Gates, Mark Zucerberg, Steve Jobs adalah mereka yang berangkat dari kaki sendiri tanpa koneksi dengan gedung putih atau capitol Hill. Sedangkan di Meksiko, dimana terjangkiti penyakit extractive political dan economic institution, Carlos Slim bisa kaya karena dari hasil monopoli perusahaan negara yang kemudian di privatisasi dan dibeli oleh Slim karena kedekatan dengan politikus Meksiko. Kita tentu tidak tahu apa teknologi ciptaan Carlos Slim. Hal yang sama tentu terjadi di Indonesia. Siapa yang tahu apa karya orang kaya di Indonesia kecuali inovasi rokok yang semakin memisikinkan orang miskin.

Jika hari ini Lampung masih ada pemadaman Listrik dan jalan yang rusak kemudian berimbas pada masih tingginya kemiskinan maka jawabannya bukan karena Lampung tidak punya sumber daya ekonomi yang cukup untuk membangun, bukan pula karena penduduknya yang malas bekerja. Tetapi hal itu lebih karena pemimpinnya yang tidak inovatif dan kreatif karena memang bagi mereka hal itu tidak penting, yang paling penting adalah uang dari pemodal untuk terpilih kembali. Apakah ini juga terjadi di daerah yang lain ? akan menarik jika ada penelitian yang membandingkan institusi politik dan ekonomi daerah-daerah di Indonesia sehingga akan tahu subtansi masalah kemiskinan daerah dan tepat sasaran arah perbaikan dan pembangunanan bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun