Mohon tunggu...
Budhi Wiryawan
Budhi Wiryawan Mohon Tunggu... profesional -

mengikuti kemana darah ini mengalir....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Harus Berani "Melawan" Media

29 Juli 2012   09:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seribu satu jalan ke roma, seribu satu cara pula meraih kekuasaan. Seribu satu corak karakter pemimpin. Dan seribu satu cara menghadapi media. Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa kekuasaan ( panguwasa) dalam determinasi budaya jawa disebut priyayi yang menyandang gelar keprajan, adalah tingkatan tertinggi dalam struktur sosial di masyarakat. Gelar atau kedudukan semacam ini akan selalu dicari orang ( hanya orang yang tidak jujur dengan diri sendiri  saja yang kadang menolaknya )

Kepemimpinan model Dahlan Iskan dan Joko Wiyono  saat ini memang baru ngetrend.  Mengapa banyak orang suka mengupas model kepemimpinan kedua tokoh itu.

Pertama, rakyat sudah bosan dengan model kepemimpinan yang itu-itu saja,  formal, sok berwibawa dengan tampilan fisik yang dibuat-buat (tidak alami), sok protokoler, suka disanjung, terlalu menjaga penampilan dan menjaga imej / pencitraan ( dan itu pun sangat kaku) ,  kalau dikritik suka membalas atau suka marah ( seperti tampilan para politisi, aktivis LSM, advokat,  aparat penegak hukum, pengamat, akademisi  ) yang kalau dikritik, atau diwawancarai, tidak pernah to the point, selalu muter-muter. Dan model seperti ini rakyat sudah bosan.

Kedua, Dahlan dan Jokowi berani menggunakan media komunikasi apapun. Media langsung bertemu dengan publik, ataupun media massa. Kalau tampil di media , kedua tokoh ini hadir dengan karakter yang "prasojo " apa adanya. Bahkan kalau ada pertanyaan yang setengahnya menjebak atau melintir, dia bisa tanggapi dengan humor.

Sebab jika pemimpin takut pada media, akan merasa rugi sendiri, toh sebaliknya jika dia ditelikung misalnya  oleh media, rakyat juga yang akan menilai langsung, apakah media itu netral, berbobot, atau punya tendensi tertentu, atau ada maksud lain, pembunuhnan karakter seseorang, misalnya.  Nggak perlu takut ngadepi media . Sebab jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh media, dia punya hak.  Jika itu pencemaran nama baik bisa lapor ke polisi, misalnya. Gitu saja repot.   Toh  di Indonesia tidak banyak media yang benar-benar 100 persen netral, itu kenyataannya. Mungkin wartawannya idealis, dan netral, tapi ketika berhadapan dengan atasannya, apa si wartawan itu berani  protes atau ngritik boss-nya  sebagaimana dia ngritik orang lain. Ah kalau seperti ini sama aja boong, lebih pengecut jadinya . Malah bisa jadi lebih buruk penilaiannya dibanding  dengan orang yang  mereka kritik selama ini.

Maka menjalani keseharian sebagai tokoh ketika dikritik,  dengan pihak manapun , ormas atau LSM sekalipun misalnya, adalah sesuatu yang wajar. Sebab pihak yang biasanya cuman ngritik, itu sejatinya juga tidak segalanya hebat dan bersih. Sekali tempo pertanyaan itu dibalik, misalnya begini : dari mana anda atau ormas/LSM anda memperoleh dana, misalnya.

Harapan yang ditumpukan kepada semua pemimpin di negeri ini memang seperti menunggu  sosok sang malaikat yang turun ke bumi.  Harapan yang terlalu berlebih. Mestinya yang kita butuhkan cukup pemimpin yang levelnya dua atau tiga level di atas kita sebagai rakyat yang dipimpinnya sudah cukup, supaya tak ada jarak atau grade yang jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun