AENGÂ bukan penyakit degeneratif. . Tidak menurun dan tidak menular. Aeng adalah bagian dari kepribadian seseorang yang kontroversial. Sikap unik, lain dan beda dengan karakter kebanyakan orang. Aeng bisa jadi karena tabiat, pola dan gaya hidup yang dijalani , prestasi kerja atau cara dia memenej hidup. atau cara berfikir dengan sudut pandang yang berbeda. Bisa jadi aeng adalah sisi lain yan khas yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang pada umumnya . Ia amerupakan jawaban atas kesumpekan hidup. Hidup yang terasa monoton, linear, tak memberikan apa-apa ketika semuanya juga berjalan normatif apa adanya.
 Saya pengin mengatakan, aeng di sini berkonotasi dengn segala hal yang positip. Sebab korupsi, misalnya bukan sesuatu yang aeng. Korupsi adalah kanker ganas yang siap mematikan ruang putih seseorang. Saya pun juga nggak akan menjabarkan type-type karakter yang kemudian menjadi tolok ukur type kepemimpinan yang belakangan ini banyak dibicarakan orang. Tapi biarkan dari kita semua menunjuk satu atau dua orang di sekitar kita yang masuk dalam gambaran dan imajinasi kita tentang sosok dan karakter orang yang dikategorikan aeng ini.
 Saya punya tetangga namanya Parjimin. Dia hanya tamat SMP, tapi otak , pandangan dan gayanya berbicara bisa sejajar dengan mereka yang lulusan S2 atau S3 sekalipun. Karena dia menggunakan formula dan kerangka berfikir yang berbeda, bahkan bisa disebut berseberangan dengan kebanyakan orang pada umumnya.. Aeng bagi Parjimin karena dia berani tampil beda, karena dia punya konsep. Tapi tidak asal tampil atau tidak sembarang nekad. Meski model dan latar belakang sekolah dia sangat minim, dia pun juga tak punya akses dengan institusi pendidikan atau lembaga pemerintah dan penyelenggara negara, tapi dia begitu saja gampang masuk di lingkungan akademis, lingkungan biroktrasi dengan enjoinya . Dia punya intuisi atas pengalaman hidup yang dialaminya. Dia lentur di pergaulan, luas akhirnya cakrawala bergaul dan berfikirnya. Dia juga punya banyak literatur atau buku yang selalu saja dia lahap, tanpa harus diikat dan dibebani dengan slogan-slogan formal intelektual. Menurut Parjimin, pemerintah atau lembaga lain selama ini selalu membuat kesalahan yang besar ketika berbicara soal pendidikan. Selalu saja yang dijadikan pijakan, adalah bagaimana formalisme itu menjadi satu-satunya jurus yang dipakai. Penentuan UAN, wajib belajar, jalur pendidikan formal yang selalu dijadikan kriteria untuk mencari pekerjaan, misalnya..
 Anehnya kesejahteraan masyarakat selama ini diukur dari kacamata data statistik berdasar atas capaian tingkat pendidikan formal seseorang. Bagi Parjimin cara pandang yang seperti ini harus dikoreksi. Bagi Parjimin, perubahan perilaku berfikir masyarakat, mestinya harus dibarengi dengan perubahan kebijakan . Berawal dari sini Parjimin selalu mengukur bahwa jika paradigma berfikir di masyarakat telah berubah, mestinya harus diikuti dengan kebijakan, eksyen,dan eksekusi yang jelas dan terarah. Parjimin mencontohkan, tahu bahwa banjir itu disebabkan oleh perilaku yang buruk tapi tak disadari oleh sebagian anggota masyarakat, dan mengapa hal itu tetap terus dibiarkan.
 Jika tak ada semacam petunjuk yang jelas bagaimana sebuah sistem itu, yang tak hanya menunjukkan sumber masalahnya, tapi juga diterapkan sanksi yang harus diterima bagi yang melanggar, maka ini yang dimaksud Parjimin sebagai sikap yang jelas dan cerdas. Parjimin mencontohkan, jika ada koruptor tertangkap tangan KPK, jangan kemudian media berlomba-lomba mengeksposnya sedemikian nafsu dan gila, tapi tak ada media yang berangkat dengan tulus mencari sosok yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan si koruptor, sebagai bahan sanding, sehingga orang tak hanya diberikan contoh yang buruk saja, tapi juga contoh yang aeng atau bersih dan jujur. Karena jaman yang kita lewati saat ini telah mengalami proses anomali.
 Jadi kata Parjimin ketika jaman telah bergerak, peradaban telah berubah, pola pikir telah berkembang lebih maju. Namun tak ada tindakan yang menyertai , maka akan sia-sia perubahan itu semua. Parjimin kemudian menyimpulkan, bahwa aeng itu dimaknai sebagai awal dari perbedaan pendapat dan sikap. Dan hendaknya aeng dimaknai sebagai sesuatu "pressure" bagi lahirnya sebuah perubahan. Akan lebih bijak jika sikap Aeng ini juga harus bisa dihargai. Maka kemudian carilah pemimpin yang aeng kalau negeri ini segera terbebas dari formalisme yang kaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H