Mohon tunggu...
Budhi Wiryawan
Budhi Wiryawan Mohon Tunggu... profesional -

mengikuti kemana darah ini mengalir....

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengelola "Ewuh Pakewuh" dalam Pengambilan Keputusan

25 September 2012   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BUDAYA Jawa mengenal istilah "ewuh pakewuh", perasaan hormat, segan, kepada seseorang, karena kedudukan, kharisma, senioritas, kebaikan, sehingga kemudian menimbulkan semacam "kebergantungan" yang begitu besar pada orang tersebut. Ewuh pakewuh sejatinya bersifat subyektif, namun pada kenyataannya, perasaan yang demikian ketika kita tak mampu mengelola emosi, justru akan menjadi penghambat, karena kita seolah telah "terkunci" di situ.

Dalam manajemen dan mengelola organisasi, di perusahaan, pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, organisasi partai politik, organisasi sosial, kehadiran tokoh yang kemudian kita tempatkan sebagai : penasihat, atau pelindung, misalnya. Menempatkan seorang "tokoh" dalam strukur oragnisasi, secara struktural disikapi sebagai sebuah bentuk penghargaan dan penghormatan, namun secara operasional, secara proporsi orang tersebut mestinya tidak memiliki kewenangan yang melebihi Ketua atau Direktur Utama. Namun jika sifat ewuh pakewuh ini tak bisa dieliminasi, lantaran sebuah sikap yang tidak enak begitu, jangan harap "mesin organisasi" itu akan jalan secara baik. Apalagi jika ucapan atau semacam"fatwa" dari orang yang bersangkutan, menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputuan.

Proses paling susah dalam pengambilan keputusan jika menghadapi keadaan atau "suasana kebatinan " yang demikian, ketika kemudian harus mempertimbangkan pendapat dari "sang penasihat" yang kemudian ternyata berseberangan dengan fakta atau aturan yang riil, maka tentu saja, seorang pimpinan akan diuji sejauh mana dia bisa memiliki kemampuan manajerial dan komunikasi yang baik., di saat pengambilan keputusan itu diputuskan, tanpa harus meninggalkan "luka" bagi orang lain.

Oleh karena itu jangan ragu untuk memutuskan yang terbaik, jika itu untuk kemaslahatan dan kepentingan orang banyak atau publik bahkan, hilangkan sifat "ewuh pakewu" secara smoot dan cerdik ketika berkomunikasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun