PEREBUTAN kekuasaan di level pimpinan dewan, sejatinya memalukan. Sampai kemudian muncul DPRTandingan segala. Ada aksi sebelumnya yang juga memalukan, penjungkirbalikan meja di ruang sidang. Melihat fenomena yang menggelisahkan itu, saya pernah berfikir di tempat sidang ternyata perlu ada acara selingan " baca puisi" biar suasana jadi "berbudaya", atau selingan ansamble musik anak-anak satu lagu saja biar ada nuansa improv musikalisasinya. Ah, ini bukan ruang konser. Ini terminal agung, tempat berkumpulnya mobil aspirasi yang membawa suara rakyat.
Sekali lagi tidak ada argumen satu pun yang bisa diyakini kemahfumannya. Pembenaran atas inisiatif pembentukan DPR tandingan juga tidak bisa dicari klausul hukum dan regulasinya. Jika itu semua dipicu oleh buntunya cara dan mekanisme bermusyawarah, mestinya bisa dilakukan cara-cara cerdas di luar agenda sidang.
Kubu KMP jangan kemudian kaku dan kukuh,seolah menutup pendekatan semacam islah . Sebaliknya kubu KIH jangan patah arang dan kemudian membuat gerakan tandingan, yang sama sekali tidak smoot ini.Jika kemudian publik dan rakyat tahu (dan memang sudah pada tahu), lalu menjustifikai lembaga dewan kita yang mulia ini “tidak cerdas”, bagaimana para “ abdi aspirasi” ini akan memberikan penjelasan ke publik.Saya tidak ingin mendikotomi bahwa lembaga legislatif kita sedang sakit. Sebab saya juga tidak tahu ada di apa di balik ini semua. Sebab kalau sakit tentu“dokter konstitusi” yang akan memeriksanya, di stadium berapa sakit yang diderita. Tapi kalau kemudian saya menyebutnya “demokrasi kita seperti pasar loak” hampir samalah.
Politik transaksionaltelahmengubah paradigma berdemokrasiyang seharusnyaetis, elegan dan berbudaya menjadi ajang transaksi jual beli kekuasaan, sepertihalnya fenomena yang terjadidi pasar loak saja.Dimana tawar menawar harga sebuah suara bisa terjadi kapanpun dan dalam posisi harga berapapun. Menyedihkan memang.
Lalu dengan cara apa kondisi ini bisa diurai ?.
Pertama , harus ada jiwa negarawan di gedung senayan ini.Berani untuk mengalah, petuah leluhur mengatakan “: sapa wani ngalah jembar wekasane” siapa yang berani mengalah akan mendapatkan kemuliaan pada ujungnya.
Kedua, kembali kepada ajaran luhur Pancasila, musyawarah karena kepentingan orang banyak, jauh ditempatkan di singgasana teratas, katimbang hanya untuk mengurusi hal-hal yang kurang prinsipaldan proporsionaldenganskala prioritas, yang mestinya kepentingan yang jauh lebih besarlebih diprioritaskan dengan mengalahkan kepentingan yang lebih kecil. Sikap mengalah itu bukan berarti kalah, atau bukan sesuatu yang tabu. Ia tetap menjadi bagian dari kebesaran sebuah karakter. Sebuah sikap yang hanya dimiliki oleh jiwa “kesyatria” bukan sikap seorang pecundang.Camkan !
Ketiga,kembalilah kepada khitoh, bahwa wakil rakyat adalah “abdi aspirasi” bagi seluruh tumpah darah rakyat, karena kaliyan dipilih bukan diundi.
Keempat, bergembiralah menyongsong abad pengorbanan dan pengabdian demi sebuah tujuanmulia kemakmuran seluruh rakyat tanpa terkecuali
Filosof populis seperti Sokrates tentu saja boleh kecewa terhadap pelaksanaan demokrasi di kemudian hari. Tidak melesetapa yang menjadi prediksi Sokrates sebelumnya , bahwademokrasiyang dijalankan pada beberapa abad kemudian di sejumlah negara (termasuk Indonesia )ternyata tidak mampu memenuhi keseluruhan aspek-aspek yang menjadi komponen penting dari tradisidemokrasi itu sendiri, yakni: konstituensi, kompetensi dan integritas. Yang terakhir ini perlu digarisbawahi- integritas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H