Hari jum'at  sebuah pesan dari teman kuliah menyapa saya. "Hai..apa kabar? Kumpul yuk sabtu besok", begitu pesan yang tertulis di hape jadul saya. Dan tanpa banyak cing-cong, saya meng-acc pertemuan itu.
Kenapa saya bersedia hadir dalam acara reuni kecil-kecilan itu? Pertama, karena kangen. Saya ingin sekali mendengar cerita-cerita mereka setelah sekian tahun berkelana di luar kampus. Â Alasan kedua, menurut informasi yang saya dapat pertemuan itu akan dihadiri beberapa teman perempuan. Nah, ini juga yang membuat saya penasaran. Apakah mereka masih se-"indah" dulu? Hehehehe..
Sabtu pun tiba. Dengan mengendarai gerbong besi yang bisa berjalan di atas rel, saya menuju sebuah lokasi yang sudah disepakati. Karena alamat jelas, tidak susah bagi saya mencapai tempat pertemuan di sebuah resto.
Begitu tiba..jrenggg....saya disambut dengan teriakan oleh beberapa teman yang sudah hadir. Lumayan dah, semenit serasa jadi selebritis yang namanya dipanggil-panggil.
Setelah berbasa basi sejenak, ternyata yang hadir cuma  5 orang termasuk saya. Dan saya adalah manusia paling ganteng diantara mereka. Apa sebab? Yah, karena empat orang teman itu adalah perempuan.
Pembicaraan pun dimulai, sembari menyantap hidangan. Satu persatu menceritakan sepak terjang mereka selepas keluar dari kampus. Ada yang merintis karir, ada yang sekolah lagi dan ada yang memutuskan berkarir menjadi ibu rumah tangga. Kami bercerita dengan hebohnya.
Kurang lebih satu jam setelah senda gurau berlalu, munculah sebuah kondisi ini. : meja makan yang semula ramai berubah menjadi agak sepi. Satu per satu teman-teman saya itu mengeluarkan "senjata" andalah abad ini : Smartphone. Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk segera asik dengan "senjata' itu.
Saya mati gaya! Betul-betul mati gaya! Selain karena tidak punya smartphone canggih untuk ikut-ikut sibuk, saya juga sedikit bingung. Harapan saya yang indah, ingin berbincang lebih lama, lebih intim, dan tertawa bersama harus buyar.
Tapi saya tidak menyerah. Sebagai pria terganteng di meja itu saya harus mampu menarik perhatian mereka. Minimal pembicaraan bisa kami mulai lagi.
Usaha saya lakukan dengan mengajak bicara seorang teman di sebelah saya. Saya lihat dia masih asyik dengan smartphonenya, tapi mengerti bahwa saya ingin mengajaknya berbicara. "Soory ya pras, ngobrolnya sama disambi (sembari-jawa) Â ngetik," ujarnya sembari sesekali wajahnya bergantian menatap wajah saya dan smartphone kesayangannya itu.
Aduhh Gusti, sakitnya tuhh disini!! Memang wajah saya tidak semenarik dibandingkan smartphonemu itu teman. Dan cerita saya pun juga mungkin tidak menarik. Tapi bisakah sejenak meletakkan barang sebentar smartphonemu itu supaya kualitas komunikasi kita menjadi lebih intim dan hangat.