Kita baru saja memasuki tahun 2014, dalam dunia penyiaran berarti sudah masuk ke tahun ke-12 semenjak Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 disahkan. Lebih dari satu dasawarsa umur regulasi penyiaran yang bernafaskan difersity of content dan difersity of ownership itu hadir sebagai aturan penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Namun, implementasi regulasi yang ditujukan untuk menjamin adanya demokratisasi penyiaran di Indonesia itu tak jua berwujud. Dunia media penyiaran justru jatuh pada kelompok kapitalis yang meraup kuntungan dari era "ketidakberaturan" penyiaran di Indonesia.
Kenapa bisa begitu? Siapa yang bertanggungjawab?
Benang kusut persoalan penyiaran di Indonesia berawal dari tarik menarik kepentingan antara industri media penyiaran, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil (termasuk didalamnya Komisi Penyiaran Indonesia). Semua pihak saling serang, berkongsi/berkoalisi untuk berebut pengaruh. Situasi terakhir atas pertarungan itu dimenangkan oleh kelompok industri media yang diduga telah "berkongsi" dengan Pemerintah melalui Kemkominfo.
Pada awal regulasi penyiaran disusun di tahun 2002, sejumlah awak media mainstream melakukan protes terhadap pengesahan RUU Penyiaran (Baca : Praktisi Pers Protes RUU Penyiaran http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=V1deBwQFUQVX ). Para awak indutsri media itu keberatan dengan RUU Penyiaran yang dianggap menghambat pertumbuhan dunia penyiaran. Sementara para pegiat organisasi masyarakat sipil berpendapat sebaliknya, bahwa RUU Penyiaran waktu itu dibutuhkan untuk menjamin adanya keadilan informasi (konten) bagi publik melalui regulasi yang mengedepankan keragaman isi siaran dan keragamankepemilikan.
Keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) menjadi penting untuk menjamin adanya keadilan informasi yang tidak bias kepentingan 'pemilik' media itu. Selain tentu untuk mendorong pemeretaan ekonomi bagi media penyiaran di daerah. Sikap kritis terhadap media penyiaran waktu itu adalah dominasinya media penyiaran yang berpusat di Jakarta dengan sasaran hampir seluruh wilayah di Indonesia. Hal itu dinilai tidak adil dalam pembagian pendapatan iklan yang hanya dikuasi media di Jakarta. Ketidakadilan juga dalam hal konten isi siaran yang dinilai hanya berisi selera Jakarta.
Semenjak disahkan, UU Penyiaran No 32 tahun 2002 tak bisa memenuhi harapan karena implementasinya setengah hati. Pemerintah terkesan tidak mendukung karena kewenangan Kementrian Komunikasi dan Informasi berkurang dengan lahirnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator penyiaran. Kalangan industri penyiaran juga tak bergembira dengan adanya KPI yang dianggap bisa mengancam keberlangsungan industri penyiaran yang tengah menikmati kejayaannya.
Situasi dunia penyiaran semakin terpuruk, setelah dikabulkannya gugatan (judicial review) UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah organisasi  seperti Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)  pada tahun 2004. Salah satu dari dua pasal dalam UU Penyiaran yang dikabulkan oleh MK adalah soal yang sangat fundamental tentang kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia. MK memutuskan peranan KPI dalam penyusunan peraturan pemerintah tentang penyiaran sebagaimana diatur dalam pasal 62 UU Penyiaran No 32/2002 bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.
Semenjak itulah, dunia penyiaran di Indonesia semakin carut marut. Rencana kebijakan siaran berjaringan berlarut-larut tak bisa dilangsungkan. Pemerintah juga terkesan enggan menjalankannya. Bahkan, beragam peraturan pemerintah tentang penyiaran baru diterbitkan beberapa tahun kemudian (tahun 2005). Kehidupan penyiaran di Indonesia semakin didominasi oleh kalangan industri, media penyiaran publik dan komunitas terpinggirkan. Frekuensi sebagai ranah publik, dikuasai oleh hanya segelintir orang yang menguasai industri media penyiaran di Indonesia, khususnya media televisi.
Kini, setelah hampir 12 tahun UU Penyiaran No 32/2002 berlaku, media penyiaran di Indonesia tak ada perubahan yang signifikan. Industri penyiaran, khususnya media televisi yang bersiaran dari Sabang hingga Merouke isi siarannya jauh dari harapan dengan keberagaman isi siaran yang mendidik lagi mencerahkan. Simak saja acara televisi (non news) sekarang, isinya hanyalah hiburan yang tak mendidik, kadang menjijikkan dengan aneka acara tak bermutu dalam ragam acara joget-joget, infotainment, takshow yang menghadirkan pemandu sorak, hingga sinetron. Beberapa acara televisi bahkan dibuat hanya dengan sumber dari internet (youtube). Dunia kreatif itu menjadi sangat semu dan berbalur plagiarisme. Belum lagi informasi yang terjasi dalam bentuk news, isi informasi yang disajikan bias kepentingan pemilik media yang juga menjadi politisi di berbagai partai politik di Indonesia.
Akankah tahun 2014 ini ada perubahan kebijakan penyiaran di Indonesia? Mari kita cermati rencana perubahan UU Penyiaran yang sudah masuk prolegnas, dan sedang dibahas di Komisi 1 DPR RI. Semestinya perubahan UU itu selesai pada tahun 2013 lalu, tapi naga-naganya akan mundur hingga 2014 atau bahkan akan dibahas oleh anggota DPR terpilih hasil pemilu April 2014 mendatang. Kemana perubahan regulasi itu nantinya akan berpihak, pada publik atau industri? Kita lihat nanti ... [@budhihermanto]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H