Tak jarang kita mendengar komentar seperti ini: "Buat apa sih baca buku Sejarah? Filsafat? Ideologi? Itu nggak bisa bikin kaya! Kalau mau baca buku mending baca buku tentang kiat-kiat sukses di usia muda atau biografi para pebisnis, sehingga bisa dapat ilmu agar bisa kaya." Luar biasa, bukan? Seolah-olah nilai sebuah buku hanya bisa diukur dari seberapa cepat ia bisa membantu kita membeli mobil baru atau rumah mewah.
Di zaman yang serba instan ini, kita hidup di bawah sistem yang bernama Kapitalisme sehingga segala sesuatu diukur oleh uang atau kapital. Kalau tidak menghasilkan uang akan dianggap tidak berguna. Tidak percaya? Coba lihat list buku-buku yang yang lebih banyak peminatnya di toko-toko buku popular apa saja. Sebagian besar dipenuhi dengan tema motivasi dan kekayaan seperti "Cara Cepat Kaya", Rahasia Sukses dalam 30 Hari", "Kiat Sukses di Usia Muda" atau "Cara Berpikir dan Jadilah Kaya". Sementara itu, buku-buku mengenai teori sosial, sejarah, filsafat atau ideologi lebih sepi peminat karena sepi peminat maka bersyukur jika buku-buku tersebut tidak digusur untuk memberi ruang bagi gelombang buku self-help terbaru.
Mungkin kita lupa bahwa membaca buku sosial, filsafat, atau sejarah tidak dirancang untuk "menggemukkan dompet." Buku-buku itu mengajarkan kita untuk berpikir kritis, memahami kompleksitas dunia, dan---ini bagian favorit saya---menemukan bahwa hidup tidak melulu tentang uang. Meskipun saya tidak memungkiri bahwa didalam sistem sosial saat ini semua butuh uang, tak terkecuali dalam hal bercinta yang ranahnya sebenarnya imaterial namun akhirnya menjadi material. Tapi anehnya, semua hal ini dianggap "tidak berguna." Kita lebih menghargai buku yang mengajarkan cara menjual lebih banyak barang di marketplace daripada buku yang menjelaskan mengapa sistem ekonomi kita membentuk perilaku konsumtif. Sehingga sistem sosial yang ada saat ini dianggap sebagai suatu hal yang alamiah atau sering disebut "sudah darisananya". Maka tidak heran masih banyak pandangan yang terbentuk bahwa mereka yang miskin adalah orang malas tanpa melihat sistem sosial yang membentuk kemiskinan tersebut.
Mari kita lihat fakta sederhana. Para pemikir besar seperti Sukarno, Kartini, Tan Malaka atau Mohammad Hatta, membaca buku-buku yang katanya "tidak berguna." Hasilnya? Mereka tidak hanya mengubah hidup mereka sendiri, tetapi juga hidup jutaan orang. Apakah mereka kaya raya? Tidak juga. Tapi apakah mereka relevan? Sangat.
Buku-buku yang "tidak berguna" itu sebenarnya adalah kunci untuk memahami dunia, menggugat ketidakadilan, dan merancang masa depan yang lebih baik dari hasil olah pikir sumber bacaan tersebut. Dan hal yang paling saya sukai adalah buku-buku ilmu sosial, sejarah atau filsafat mampu menumbuhkan rasa kemanusiaan karena mereka yang membaca buku tersebut akan melihat bahwa hasil kekayaan yang diperoleh sebenarnya bukan hasil usaha sendiri melainkan ada hak orang lain yang ia nikmati. Seperti tokoh-tokoh diatas jika ditelaah mereka memiliki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi. Tapi siapa yang peduli, kan? Toh yang penting cuan, bisa punya mobil dan rumah sebanyak-banyaknya, persetan dengan mereka yang tidak punya rumah bahkan kelaparan.
Jadi, apakah membaca buku itu benar-benar tidak berguna? Atau mungkin, yang sebenarnya tidak berguna adalah pola pikir kita yang sempit dan hanya menghargai uang sebagai tolok ukur segalanya? Mungkin sudah waktunya kita bertanya: Apakah yang kita kejar benar-benar "guna," atau hanya ilusi dari apa yang dianggap "berguna" oleh masyarakat? Pada akhirnya, membaca buku adalah tindakan memberdayakan diri, bukan sekadar transaksi ekonomi serta sebagai bentuk perlawanan terhadap kebodohan. Dan jika itu tidak berguna, maka saya bangga menjadi "tidak berguna."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI