Mohon tunggu...
Sebastianus Anto
Sebastianus Anto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Seorang Buruh yang terkadang mencoba menuangkan kotoran kepala melalui coretan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cinta Memang Semestinya Tidak Memiliki

11 April 2024   19:15 Diperbarui: 11 April 2024   19:21 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Cinta tak harus memiliki"

Kalimat ini sering sekali saya dengar dan baca di beberapa media online baik artikel maupun media sosial. Kalimat ini pun menjadi kata-kata bijak dalam hal percintaan sepasang manusia yang bertepuk sebelah tangan. Setiap membaca kalimat ini selalu membuat saya bertanya, benarkah cinta tak harus memiliki atau memang dalam cinta tak semestinya memiliki?

Dari pertanyaan tersebut dan dari pengalaman yang saya alami maupun orang lain, membawa saya untuk berefleksi tentang cinta dan kepemilikan. Dari refleksi tersebut akhirnya memunculkan pertanyaan yang lebih mendasar yakni, "apa itu cinta dan apa itu kepemilikan?" Pertanyaan yang bagi saya tidak mudah untuk dijawab tapi justru menarik bagi saya untuk membawa dalam perenungan.

Apa itu cinta?

Salah satu pemahaman mengenai cinta yang terkenal ialah cinta platonis. Konsep ini muncul dari pemikiran Plato yang tertuang dalam buku Simposium. Inti dari konsep cinta Platonis adalah cinta yang tidak bersifat seksual atau romantis. Jenis cinta ini melibatkan cinta tanpa ketertarikan apapun, baik romantis maupun seksual. 

Dalam karya lainnya, Plato berpendapat bahwa orang terbaik adalah orang yang memiliki cinta. Plato membagi aktivitas jiwa manusia menjadi tiga bagian, yaitu: a) Epithumea, seperti nafsu makan, minum, seks b) Thumos, seperti afeksi, rasa, semangat, agresi c) Logistikon, seperti berpikir. Plato juga mengatakan bahwa manusia terbaik adalah mereka yang mencintai kebijaksanaan atau filsafat. Selain itu, Plato juga berpendapat bahwa cinta membuat orang untuk menemukan yang terbaik bagi dirinya, yaitu kebijaksanaan. Pada hakikatnya bagi Plato, cinta selalu menuntun manusia untuk menemukan apa yang terbaik bagi dirinya.

Kemudian ada juga tokoh bernama Erich Fromm yang mencoba membahas mengenai cinta. Ia terkenal dengan karyanya yang berjudul The Art of Loving atau Seni Mencintai. Fromm juga mengatakan dalam bukunya bahwa masalah manusia saat ini adalah banyak orang yang menekankan sisi being loved (dicintai) daripada loving (mencintai). Seseorang merasa sangat penting ketika orang lain mencintainya dan merasa terbebani ketika harus mencintai orang lain. Fromm dalam buku The Art of Loving menyebutkan bahwa:

"Cinta adalah kegiatan, bukan efek pasif; itu adalah 'berdiri', bukan 'jatuh cinta'. Dengan cara yang paling umum, karakter aktif cinta dapat digambarkan dengan menyatakan bahwa cinta terutama memberi, bukan menerima."

Bagi Fromm, cinta bukanlah seperti jatuh cinta, melainkan seperti bangkit dan menerima cinta itu. Fromm menyatakan bahwa ketika seseorang menerima cinta, dia tidak dalam keadaan jatuh, melainkan berdiri dan menyambutnya. Fromm menyarankan bahwa ketika seseorang merasakan cinta, dia berdiri di dalamnya dan menikmati semua cinta dan kasih sayang. Fromm juga menyatakan bahwa jika dua orang merasakan cinta, maka cinta itu sendiri hanyalah kesatuan, bukan perpisahan.

Selain dari filsuf perenungan juga membawa saya membuka alkitab untuk mencari apa itu cinta. Dalam Yohanes 15:3 tertulis "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya". Hal ini teraktualisasi dalam peristiwa Yesus wafat di kayu salib. 

Cinta dalam alkitab adalah cinta 'agape' yang tanpa syarat ini lebih penting daripada segala sesuatu yang lain (lebih penting dari antara lain: kemampuan berkotbah, bernubuat, pengetahuan, iman, perbuatan baik dan harapan). Semua hal-hal yang "baik" ini, akan berlalu, hanya cinta/kasih yang abadi, karena kasih akan menjadi dasar hidup yang kekal.

Apa itu kepemilikan?

Kepemilikan atau keempunyaan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kendali terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi. Dalam Two Treatises on Government (Dua Risalah tentang Pemerintahan), Locke menulis, "Dalam diri setiap orang, kepribadian adalah milik; dalam hal ini tidak seorang pun mempunyai hak apa pun kecuali haknya sendiri." 

Artinya, pada prinsipnya tidak ada seorangpun yang mempunyai hak milik atas orang lain kecuali dirinya sendiri. Kepemilikan orang lain (misalnya budak) dan juga waktu kerja sendiri (sebagai pekerja bergaji) merupakan fakta turunan dari aslinya. Dalam hal ini, Locke mengatakan: "Apa pun yang diubah manusia dari keadaan alaminya, dia mencampurkan karyanya dengan itu, menyatukannya [dengan kerja] miliknya, dan dengan demikian menjadikannya miliknya." 

Jadi ditunjukkan di sini bahwa kerja mandiri adalah dasar dari teori kerja tentang properti. Karena setiap orang mempunyai dirinya sendiri, juga tenaga kerjanya sendiri, dan setiap pekerjaan merupakan cerminan eksternal dari karakteristik pribadi dalam dunia material yang impersonal, maka barang yang dihasilkan dari kerja dengan sendirinya adalah milik penciptanya.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut akhirnya membawa saya pada kesimpulan bahwa memang semestinya cintak tidak memiliki karena dalam memiliki akan ada yang dikuasai, sementara cinta bukanlah perihal kuasa-menguasai. Cinta semestinya memberi kebebasan bagi orang yang dicintai dan mencintai sementara memiliki ialah perihal penguasaan terhadap sesuatu yang dimiliki dan dalam penguasaan tidak ada kebebasan. 

Cinta seharusnya membawa pada pencerahan tentang kesadaran sehingga mencintai-dicintai berdasarkan kesadaran. Sadar bahwa manusia itu setara sehingga tidak satupun manusia yang berhak menguasai hidup serta kehidupan manusia lain. Sadar bahwa mencintai-dicintai ialah saling menghargai sehingga satu sama lain tidak melakukan hal yang menyakiti. Sadar bahwa dalam cinta membawa manusia pada suatu proses menuju kebaikan dalam pembentukan diri.

Maka kalimat "cinta tak harus memiliki" menurut saya justru harus dipertanyakan kembali, benarkah hal demikian itu benar-benar tentang cinta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun