Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Semburat Senja Kembali ke Chao Phraya

29 Oktober 2011   14:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:19 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_144897" align="aligncenter" width="680" caption="Jembatan di Atas Sungai Chao Phraya"][/caption]

di sungai Chao Phraya aku temukan Venesia yang menjadi sebongkah cerita untuk hidangan bersama ketika berlayar dengan perahu aku seperti mengintip ibu kota yang penuh riuh rindu dan tidak pernah habis disampaikan kepada para turis...* (Husen Arifin) Barangkali tiada yang lebih syahdu selain menikmati senja yang luruh perlahan, ditemani deburan air yang beradu dengan lambung perahu, dan sepoi angin sore yang lembut menampar wajah dan memainkan helai-helai rambut. Lantas, tengoklah indahnya cakrawala barat dengan bercak kuning kemerahan, berlatar depan gedung-gedung megah yang ditelan kelam dan berubah menjadi ratusan kerlap-kerlip cahaya. Pesta cahaya pun berlanjut. Kapal dan perahu yang melaju mulai menyalakan lampu aneka warna. Demikian halnya penerangan yang menyinari dermaga, rumah, atau pasar di pinggir sungai. Juga beragam warna lampu sorot yang menerangi kolong jembatan. Segalanya laksana ribuan kunang-kunang yang terbang rendah dan sinarnya terpantul nyata di atas air Sungai Chao Phraya yang hening. Menjelang malam adalah saat paling tepat untuk menikmati beragam suasana sepanjang Bengawan Chao Phraya. Ketika lampu-lampu sudah mulai dinyalakan dan Chao Phraya pun bermandikan cahaya aneka rupa yang memukau mata. Puluhan kapal dan perahu yang melintas bisa menjadi pilihan Anda untuk menyelami indahnya suasana sungai. Tak perlu memaksakan diri menaiki kapal pesiar berharga mahal demi menikmati romantisme ala Chao Phraya. Cukup dengan menumpang angkutan umum Chao Phraya Express Boat bertarif lima belas baht (sekitar Rp. 4.500), Anda pun bisa menghayati nuansa yang sama. Bahkan suasana itu bisa ditemukan secara alami ketika berbaur langsung dengan masyarakat umum Bangkok yang ramah. [caption id="attachment_144908" align="aligncenter" width="680" caption="Kapal Wisata (kiri) dan Gedung-Gedung di Sisi Sungai Chao Phraya (kanan)"][/caption] Tengoklah keriuhan di salah satu dermaga, yaitu di Sathorn (Thaksin) Pier, saat ratusan penumpang sudah membentuk antrian laksana ular yang berjalan di pinggir dermaga. Di tempat inilah pemberhentian sungai terkoneksi secara langsung dengan Stasiun Sky Train Saphan Taksin. Tak pelak, konsentrasi penumpang terlihat lebih padat dibanding dermaga-dermaga lainnya. Senja memang jadi pertanda bagi awak boat untuk bekerja lebih sigap karena setelah jam pulang kantor, angkutan Express Boat bakal disesaki para pekerja kantoran yang tampak bergegas ingin segera pulang. Petugas dermaga pun sibuk mengatur antrian penumpang. Sedikit berdesakan saat berebut naik boat itu biasa, asalkan jangan keterlaluan. Sebab meleng sedikit, bisa-bisa penumpang itu terpeleset masuk sungai. Dan di saat semua sudah naik ke atas boat, maka tambang penambat perahu bermotor itu segera dilepas. Lalu, peluit pun dibunyikan sebagai pertanda perahu dapat melanjutkan perjalanan ke pier berikut. Begitulah, menyaksikan kesibukan di dermaga adalah paduan antara teriakan petugas dan keriuhan para penumpang. Selanjutnya, saat boat melaju di tengah sungai, inilah waktunya mengamati keindahan yang terbentang sepanjang Chao Phraya. Biarkanlah tampias air sungai yang sesekali muncrat membasahi wajah atau kulit, sebab sentuhannya yang dingin pasti mencipta suasana lain selama perjalanan. [caption id="attachment_144900" align="aligncenter" width="680" caption="Kerlap-Kerlip Lampu di Kolong Jembatan"][/caption]

... sepanjang bengawan Chao Phraya banyak gedung berjajar di tepi dan melukiskan pesona kota ini

menyusuri bengawan Chao Phraya seperti tenggelam dalam gelombang dan melihat megahnya tiang-tiang

matahari menemaniku di sungai Chao Phraya di perahu kuberteman karyawan berdasi, mahasiswa, dan mbak rok mini...* Inilah bengawan yang membelah Kota Bangkok menjadi dua bagian. Hulu Chao Phraya adalah pertemuan Sungai Ping dan Sungai Nan di Provinsi Nakhon Sawan. Air Sungai Chao Phraya mengalir sejauh 372 kilometer ke selatan, melewati Uthai Thani, Chainat, Singburi, Ang Thong, Ayutthaya, Pathum Thani, Nonthaburi, Bangkok, dan Samut Prakan, hingga mencapai pelepasannya ke Teluk Thailand. Tak seperti sungai di Jawa yang nyaris kering di musim kemarau, air Sungai Chao Phraya senantiasa berkelimpahan sepanjang tahun. Airnya mengalir berabad-abad dari generasi ke generasi. Raja boleh berganti, dinasti boleh tumbang, namun Chao Phraya tak pernah ingkar sedikitpun. Bengawan ini senantiasa mengalirkan kehidupan bagi rakyat Siam. Chao Phraya ini laksana seorang ibu bagi masyarakat Thai. Airnya menjadi susu kehidupan bagi mereka. Meski terkadang air itu meluncur deras bagai bah yang kini sudah meluluh lantakkan kota-kota di utara Bangkok, tetapi masyarakat memahaminya sebagai isyarat alam untuk menyeimbangkan diri. Ada saat mereka diberi, ada pula saat mereka harus memberi. [caption id="attachment_144903" align="aligncenter" width="680" caption="Gedung-Gedung Sepanjang Chao Phraya"][/caption] Mengamati aliran Chao Phraya di Bangkok berarti juga mempelajari kearifan rakyat Siam yang berusaha menjaga kebersihan sungainya. Meski di beberapa literatur disebutkan bahwa pembukaan lahan pertanian dan modernisasi ibukota telah menggerus ekosistem alami sepanjang Chao Phraya, namun melihat kondisi sungai yang bersih dari sampah manusia, tampaknya masyarakat Thailand boleh sedikit berbangga hati. Tak ubahnya sebuah nadi kehidupan, Chao Phraya barangkali mewakili saksi peradaban dari masa ke masa. Sejarah mencatat bahwa lembah Chao Phraya telah didiami masyarakat Dvaravati di abad ketujuh. Berikutnya, kerajaan yang menjadi bagian sejarah Siam, seperti Sukhothai dan Ayuthaya juga mendirikan ibukotanya tak jauh dari aliran sungai Chao Phraya. Ketika invasi Burma memporak-porandakan kejayaan Ayuthaya di tahun 1767, tampaknya sejarah Siam akan berhenti di sini. Namun, dua  tahun kemudian, Jenderal Taksin berhasil menyatukan kembali kerajaan Thai yang hancur dan mengukuhkan dirinya sebagai  raja dengan ibukota di Thonburi, tak jauh pula dari aliran Sungai Chao Phraya. Meski akhirnya Taksin tumbang akibat suksesi yang dilakukan oleh dinasti Chakri, tetapi raja baru ini pun tak pernah memindahkan ibukotanya jauh dari sungai Chao Phraya. [caption id="attachment_144899" align="aligncenter" width="680" caption="Ragam Moda Transportasi"][/caption] Demikianlah, sejak jaman dulu, sungai ini memang telah memegang peran sentral di berbagai hal. Terutama sekali di bidang perhubungan. Hingga kini Sungai Chao Phraya masih menjadi sarana penghubung antar tempat yang efektif di Kota Bangkok. Bahkan ketika transportasi darat berkembang begitu pesat, ternyata sarana transportasi air ini tak pernah bisa dihilangkan. Inilah moda transportasi bebas macet sekaligus menjadi andalan wisata pemerintah Thailand. Tak melulu Sungai Chao Phraya, tampaknya pemerintah kota Bangkok juga memberdayakan transportasi air yang melewati kanal-kanal di tengah kota. Saya sempat mencicipi nikmatnya naik Saen Saep Express Boat yang membelah Kanal Saen Saep dari Phan Fa Lilat Pier hingga Pratunam Pier. Sayangnya, jalur ini masih belum populer di telinga turis. Padahal ini adalah alternatif angkutan yang murah, bebas macet, dan langsung menuju ke tengah kota. Cocok sekali bagi para backpacker berkantung cekak seperti saya. [caption id="attachment_144902" align="aligncenter" width="680" caption="Suasana di Dalam Saen Saep Express Boat"][/caption] Senja sudah nyaris menghilang di ufuk barat . Gedung-gedung sudah berubah menjadi siluet malam. Demikian pula Wat Arun di sebelah barat sana yang tampak mulai menghitam ditelan kelam. Sementara itu, di ujung sana sebuah restoran pinggir sungai mulai berkelap-kelip dengan pertunjukan live music-nya Saya masih terduduk di Chao Phraya Express Boat, menekuri sensasi suasana yang ditawarkan oleh seruas sungai yang sering disebut sebagai River of Kings. Barangkali sungai ini sering dipakai oleh Raja Thailand untuk berbagai gelaran dan upacara. Saya teringat dengan adegan film Anna and The King yang menggunakan Sungai Chao Phraya sebagai setting. Suasana sungai yang eksotis lagi romantis terekam begitu nyata ketika Raja Rama IV alias Raja Mongkut terpikat oleh kecantikan dan kecerdasan Anna Leonowalds. Saya yakin tak cuma Raja Mongkut yang menemukan atau meneguhkan perasaan cintanya dalam balutan romantisme Chao Phraya. Pastilah ada orang-orang lain yang mengalami peristiwa serupa. Sayangnya, tak ada catatan sejarah tentang hal tersebut. Saya hanya berharap jika nantinya ada orang yang mau menuliskan sejarah cinta di Chao Phraya, mungkin namaku bisa tercatat di dalamnya.

...tidak ada jarak ketika aku di perahu semuanya menggenggam mimpi dan mengejar waktu sambil memegang ponsel berkirim kabar ke muasal rindu dan aku mendapat ketenangan di Phra Buddhasaiyas tempat berteduhnya kalbu seiring berputarnya arus di perahu*

***

Seminggu kemudian (30 Oktober 2011), setelah saya mempublikasikan tulisan ini di Kompasiana dan beberapa social media, muncul beberapa komentar serupa tentang luapan air Sungai Chao Phraya yang kini mulai merendam Kota Bangkok. Saya pun menyaksikan di layar televisi nasional tentang kawasan kota tua Bangkok yang mulai dibanjiri air. Tampaknya usaha mati-matian Pemerintah Kota dan Negara Thailand tak mampu membendung kekuatan alam yang luar biasa.

Namun, saya percaya suatu saat nanti ketika alam mulai bersahabat, semburat senja akan kembali ke Chao Phraya. Tentunya lengkap dengan keindahan dan romantismenya.

 

[caption id="attachment_144905" align="aligncenter" width="680" caption="Wat Arun di Waktu Senja"][/caption]   Catatan : * Penggalan puisi di atas adalah karya Husen Arifin yang dia publikasikan di dalam blog pribadinya. Puisi ini berjudul Matahari di Sungai Chao Phraya dan menjadi Finalis Lomba Cipta Puisi Nasional 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun