Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pendar Malam Para Ladyboy

24 November 2011   14:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:15 4358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_151465" align="alignleft" width="650" caption="Pementasan Calypso Cabaret / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] "Buat apa ke Bangkok? Mau cari shemale?" Ini seloroh seorang teman lama ketika mengetahui saya akan berlibur ke ibukota negeri gajah putih. Saya pun cuma nyengir. Beberapa waktu lalu teman saya yang lain menunjukkan beberapa foto selama liburannya di Thailand. Dan salah satunya adalah gambar saat dirinya dikerubungi bidadari-bidadari cantik. Persis layaknya seorang raja kapal. "Mereka ini bukan wanita, tapi para banci," jelasnya sembari tersenyum. Dan saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala takjub menyaksikan betapa ayunya bencong-bencong itu. Mungkin mengalahkan kecantikan perempuan asli. Ternyata ini adalah foto teman saya dengan para ladyboy pemeran drama musikal di Kota Bangkok.

 

[caption id="attachment_151468" align="aligncenter" width="650" caption="Kounter Tiket Calypso Cabaret / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Beberapa informasi di internet menyebutkan bahwa pertunjukan kabaret yang diperankan kaum transgender alias para waria atau ladyboys merupakan hiburan yang banyak diminati wisatawan. Tidaklah mengherankan jika beberapa biro perjalanan memasukkannya sebagai salah satu tujuan wisata di Thailand. Ada beragam pertunjukan ladyboys yang bisa dipilih. Ada Tiffany dan Alcazar Cabaret di Pattaya, Calypso dan Mamboo Cabaret di Bangkok, atau Simon Cabaret di Phuket. Masing-masing pasti memiliki kekhasan tersendiri. Tak urung ini membuat saya kian penasaran dengan pertunjukan yang kabarnya mirip pementasan drama musikal Broadway. Dari surfing di Internet dan rekomendasi kawan, saya berhasil mendapatkan tiket Calypso Cabaret melalui pemesanan online di HotelThailand.com. Harganya 405 baht per orang atau senilai Rp. 121.500. Tapi, jika Anda memesan dua tiga hari sebelum pementasan, harganya bisa melonjak lebih dari dua kali lipat. Mirip seperti beli tiket pesawat. Berbekal tiket tersebut, Jumat petang (14 Oktober 2011) saya dan isteri berkemas menuju Asian Hotel tempat pertunjukan Calypso Cabaret. Cuaca nampak kurang bersahabat. Sedari siang hujan deras mendera sekujur Kota Bangkok. Alhasil, di ujung gang Trok Mayom, dekat Khaosan Road, saya menggigil kedinginan menunggu taksi yang lewat. Sesekali saya menengok jam tangan dengan harap-harap cemas. Lebih dari setengah jam kami menunggu namun tak ada taksi kosong. Kalaupun ada, itupun taksi yang biasa mangkal di depan Hotel Sawasdee Khaosan Inn. Dan barusan saya dibikin kesal lantaran ulah sopirnya yang memasang tarif selangit tanpa argo.

 

[caption id="attachment_151470" align="aligncenter" width="650" caption="Gaya Teatrikal Pada Pementasan Musikal / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Akhirnya penantian saya terjawab ketika taksi kosong berwarna pink melintas di depan kami. Secepat kilat saya masuk ke dalam. Meski tampang sopirnya menyeramkan, namun dia bersedia mengantarkan kami dengan tarif sesuai argometer. Sepanjang jalan saya hanya bisa berdoa semoga kami tidak terjebak kemacetan. Saya membayangkan jalanan sini seperti Jakarta yang senantiasa macet jika hujan deras mengguyur jelang pulang kantor. Syukurlah, ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Perjalanan dari Khaosan Road ke Asian Hotel hanya ditempuh selama lima belas menit saja dengan tarif enam puluh lima baht. Ya, tak lebih dari dua puluh ribu rupiah. Setelah saya menukarkan salinan email pembelian tiket online dengan tiket asli Calypso Cabaret, kami lantas diantar masuk ke tempat pertunjukan di lantai basement. Setelah menunggu beberapa jenak, perlahan-lahan lampu penonton mulai dimatikan. Lalu giliran lampu ke arah panggung yang dinyalakan. Seorang lelaki tampil di sana dengan gaya lip-sync yang khas, "Welcome to Calypso Cabaret in Bangkok!" Orkestra musik terdengar membahana. Dan pertunjukan segera dimulai... [caption id="attachment_151471" align="aligncenter" width="650" caption="Laksana Diva / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Seorang perempuan muda, cantik, dan anggun keluar dari balik layar. Dengan bergaya laksana diva, dia menyanyikan lagu dari balik tiang mikrofon di tengah panggung. Tak berapa lama, sesaat setelah lagu itu usai, setting panggung pun berubah rupa. Musik berganti ritme. Sekelompok laki-laki dan perempuan keluar menari-nari. Beberapa dengan dandanan glamour menggoda, sementara sang pria bertampang gentle parlente. Di tengah tarian tampak sepasang sejoli memadu kasih dengan gaya teatrikal. Sampai akhirnya terjadilah tragedi memilukan. Sang perempuan menembak kepalanya sendiri dengan pistol di tangan! Panggung pun mendadak senyap. Background berganti setting. Perempuan-perempuan manis nan seksi muncul dari sisi panggung dan bernyanyi dengan kenesnya. Mereka menirukan gaya grup musik Korea Wonder Girls yang menyanyikan "Nobody". Tak berapa lama panggung berubah lagi menjadi ajang modern dance ala Madonna yang ekspresif. Adegan demi adegan berlalu cepat. Malam dingin kota Bangkok dihangatkan oleh parade perempuan-perempuan cantik berbikini. Mereka mengitari panggung dan menari-nari. Sesekali bergoyang seksi ala penari streaptease. Sambil terus ber-lip-sync menirukan beberapa nyanyian. Tak hanya itu, adegan kabaret ini melawat ke asia timur. Seorang perempuan berdandan ala geisha dengan kimono gelap dan bibir merona saga terlihat menyanyi dengan nada-nada tinggi. Beberapa kali dia menggoda penonton di bagian depan. Sampai-sampai seorang penonton pria tertunduk malu saat penyanyi itu meninggalkan bekas bibirnya di pipi pria itu. Ya, si ladyboy itu mengecup mesra sang penonton... [caption id="attachment_151472" align="aligncenter" width="650" caption="Pertunjukan dari Jepang / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Muatan lokal juga mewarnai drama musikal yang diusung para waria. Dalam satu sesi mereka mengangkat epos kepahlawanan dari legenda Thailand kuno. Penampilan mereka sungguh memikat dalam balutan komposisi panggung, musik pengiring, dan cahaya warna-warni yang menakjubkan. Berkali-kali saya terpesona dengan aksi panggung para ladyboy. Paduan antara musik, akting, tata panggung, pecahayaan, tarian, adegan, dan kostum menciptakan keindahan yang memukau. Dalam tempo satu setengah jam para aktor senantiasa bergerak, menari, dan menyanyi. Mereka sungguh-sungguh para profesional seni pertunjukan yang sudah terlatih dan kawakan. Apalagi mereka mesti menyajikan pertunjukan tanpa henti dua kali sehari dan tujuh hari seminggu. Selebihnya saya hanya bisa berdecak kagum, "Luar Biasa!" [caption id="attachment_151473" align="aligncenter" width="650" caption="Epos Legenda Kuno Thailand / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Kultur masyarakat Thailand memang sangat permisif hingga komunitas transgender terlihat bisa diterima di masyarakat normal. Tak heran, jika para waria bisa mengambil peran di bidang formal dan non formal, seperti sekretaris, pramugari, wiraswasta, designer, pekerja seni, bahkan sampai pekerja kasar. Hal yang barangkali ganjil di negeri kita, di mana sebagian besar dari kaum transgender cuma jadi bahan olok-olokan dan objek seksual semata. Di ujung penampilan Calypso Cabaret terlihat seluruh pemain berada di atas panggung sembari menari dan menyanyi secara kolosal. Dalam gerakan yang enerjik, akting yang tertata, dan stamina yang terjaga, para aktor mengakhiri pertunjukan dengan penuh pesona. Lelaki yang sama tampak menutup pagelaran ini diiringi tepuk tangan yang seolah tiada henti. Selanjutnya gemerlap panggung pun mulai meredup. Sementara itu saya masih duduk terpukau menyaksikan keindahan dan kecantikan ladyboys yang pelan-pelan menghilang di balik tirai panggung. Isteri saya tiba-tiba menjawil lenganku dan minta difoto bersama dengan salah satu pemeran yang menurutnya paling cantik. Saya pun tersadar seketika. Lampu penonton telah menyala benderang dan para ladyboy itu berbaris menyambut kami sepanjang jalan keluar gedung pertunjukan. Malam Kota Bangkok masih senantiasa berpendar ketika saya tak habis-habisnya mengagumi kecantikan mereka. "Sayang mereka semua cowok, kalau tidak..." Hmmm... Saya tak berani melanjutkannya. [caption id="attachment_151474" align="aligncenter" width="500" caption="Gemulai Menari / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun