Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jejak Pencari Tuhan di Vietnam Selatan

26 Oktober 2012   23:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:21 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_220216" align="aligncenter" width="600" caption="Ritual Penganut Caodaisme di Vietnam / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]

Siapa bilang komunisme anti agama? Bahkan Jesus, Buddha, dan Confucius disembah bersama dalam satu tempat.

Pagi di Ho Chi Minh City menjadi awal hari yang sembab ketika rinai hujan tak henti-henti menghujam kota. Sejenak saya menyingkap tirai jendela penginapan di lantai lima. Angin dingin sejenak menabrak badanku yang sedari tadi sudah menggigil lantaran air conditioner yang menyemprot di dalam kamar. Jalanan memang tak pernah mengenal kata sunyi meski awan gelap bercampur hujan menaungi penjuru kota yang dulunya bernama Saigon. Saya menguap lebar-lebar. Jika menuruti kata hati barangkali saya lebih suka kembali meringkuk ke balik selimut. Meneruskan tidur dan mimpi yang terpenggal oleh kegaduhan para backpacker negeri kanguru di kamar sebelah. Tapi untuk apa saya jauh-jauh ke Vietnam hanya untuk bermalas-malasan di tempat tidur? Dan tunggu dulu, tampaknya perut saya seperti melagukan orksetra keroncong. Tak ada pilihan lain, segera saya mencuci muka seperlunya, menyambar sandal dan setengah berlari menuruni tangga. Lima lantai menyusuri undakan tangga memang bikin nafas saya sedikit ngos-ngosan. Sesampai anak tangga terakhir pandangan saya tertuju pada sesosok gadis dengan rangkaian bunga aster dan buah pepaya di tangan. Saya tertegun sejenak. Dia menaruh bunga dan buah segar di depan dua patung dewa. Lantas dia menyalakan hio dan mengambil sikap hormat ke arah para dewa. Matanya terpejam sesaat dengan doa yang dia daraskan dalam hati. [caption id="attachment_220219" align="aligncenter" width="600" caption="Saigon Central Mosque yang Terselip di Antara Bangunan Tinggi dan Modern / Foto: Budhi K. Wardhana"]

1351272152958965965
1351272152958965965
[/caption] "Good morning," sapa gadis itu usai mengakhiri ritual paginya. Seulas senyum terpancar dari bibir Thuy Thi Minh sang resepsionis guest house. Dia lantas bercerita tentang kegiatan yang rutin dilakukannya setiap pagi. "Bukankah di negeri kamu juga ada ritual sembahyang setiap pagi?" Saya mengangguk. Barangkali yang dia maksud adalah aktivitas Sholat Subuh yang dijalankan kaum muslim di Indonesia. Saya tertegun sambil menyimpan heran dalam benak. Ternyata di negara komunis seperti Vietnam tiap warganya masih diberi kebebasan untuk menunaikan kewajiban agama. Saya segera tersadar ketika Minh datang dari dalam pantry sembari menenteng roti baquette dan telur dadar yang panas dan kelihatannya lezat. Bibir saya tersenyum lebar. Mungkin serupa dengan kawanan cacing di perut saya yang kini bisa tertawa dan siap berpesta. [caption id="attachment_220221" align="aligncenter" width="600" caption="Pemujaan di Thien Hau Pagoda / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13512722721595072346
13512722721595072346
[/caption] Menelusuri setiap sudut Kota Ho Chi Minh agaknya saya mesti membuang jauh-jauh pikiran bahwa komunis identik dengan atheis. Tengoklah di beberapa sudut kota, pasti kita tak akan kesulitan menemukan ragam rumah ibadah dari klenteng, pagoda, temple, gereja, atau masjid. Di kawasan Cholon yang terkenal sebagai China Town-nya Ho Chi Minh City sangatlah mudah menemukan bangunan pagoda yang menjadi tempat pemujaan agama mereka. Bau dupa dari hio yang dibakar memenuhi sudut ruangan ketika saya menyambangi sebuah Pagoda di jalanan utama Pecinan. "Inilah Thien Hau Pagoda," tutur Miss Thang yang menjadi pemandu kami. Lebih dikenal sebagai Chun Ba atau Lady Pagoda, tempat yang dibangun awal 1800 ini memang dipersembahkan kepada Dewi Laut Thien Hau. Atap bangunannya sungguh memukau dengan ornamen ukiran patung dan keramik yang berkisah tentang Legenda China Taoisme. Kertas-kertas merah berisi rangkaian kalimat doa bagi Sang Dewi terlihat rapi menutupi dinding. [caption id="attachment_220225" align="aligncenter" width="400" caption="Patung Perawan Maria Ratu Damai di Depan Notre Dame Cathedral / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13512725882117728280
13512725882117728280
[/caption] Di sudut kota yang lain, saya menemukan beberapa bangunan gereja dengan gaya basilika. Barangkali yang paling terkenal adalah Notre Dame Cathedral yang dibangun tahun 1880 semasa Penjajahan Perancis. Berbalutkan bata merah telanjang, bangunan ini begitu agung dengan ornamen gothic yang menjulang. Sementara Perawan Maria Ratu Damai berdiri teguh di depan gereja serasa memberi keteduhan dan kedamaian bagi kota yang dulunya tercabik perang. Seorang wanita menawari saya rosario cendana di depan pintu masuk Gereja. Namun saya menolak halus melalui senyuman. Terselip di antara jangkung bangunan hotel, restoran, dan hiruk pikuk malam kota yang dulunya menjadi ibukota Vietnam Selatan, saya menemukan bangunan masjid bagi komunitas India muslim. Di beberapa literatur tempat ini disebut sebagai Saigon Central Mosque meskipun papan namanya tertulis India Jamia Muslim Mosque. Tapi apalah arti sebuah nama? Kesunyian malam terasa menyergap di tempat ini. Suasana yang tentu berbeda dengan Masjid-Masjid Agung di tanah air yang umumnya ramai disambangi hingga jauh malam dan menjadi tempat persinggahan para musafir. [caption id="attachment_220227" align="aligncenter" width="600" caption="Seorang Penganut Caodaisme di Depan Temple / Foto : BUdhi K. Wardhana"]
1351273324947792314
1351273324947792314
[/caption] "Jika tertarik dengan agama, tak ada salahnya kamu mengunjungi Cao Dai Temple," ujar Mark seorang traveler Australia saat kami sarapan di lobi Guest House. Tertarik dengan penuturannya, saya duduk mendekati Mark. Bule negeri kanguru itu memang masih sangat muda tetapi pengalaman travelingnya sungguh membuat saya tercengang. Seolah hidupnya memang didedikasikan untuk beragam perjalanan. Di usianya yang belum lengkap dua dasawarsa, dia nyaris telah mengelilingi segenap pelosok dunia. Laki-laki di depanku itu lantas berkisah tentang sekte sinkretisme yang berkembang di Vietnam bagian tengah dan selatan. Dan tanpa perlu berpikir panjang, saya langsung memesan tempat untuk perjalanan ke Cao Dai Temple yang berjarak seratus kilometer di luar kota Ho Chi Minh City. [caption id="attachment_220228" align="aligncenter" width="600" caption="Simbol Mata Ilahi yang Menjadi Ornamen di Cao Dai Temple / Foto : Budhi K. Wardhana"]
1351273426571457383
1351273426571457383
[/caption] Cukup dengan membayar delapan dolar saya bisa menaiki bis turis menuju kuil Cao Dai di Long Hoa Village. Perjalanan ke sana sungguh menjadi tiga jam yang membosankan. Bagi saya tak banyak yang bisa dilihat selain sawah, rawa-rawa, rumah penduduk, dan hewan-hewan ternak yang dibiarkan mencari makan. Kondisi yang tak beda jauh apabila kita menyusuri kawasan luar kota di Pulau Jawa. Namun barangkali suasana ini menjadi barang baru bagi turis Australia di sebelah saya. Nenek asal Sydney ini terlihat kegirangan menyaksikan hamparan padi menghijau dengan kawanan ternak yang sedang merumput. Beberapa kali dia berteriak gembira menyaksikan kerbau yang bermain-main lumpur. Sementara saya hanya tersenyum basa-basi untuk sekedar menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah. [caption id="attachment_220229" align="aligncenter" width="600" caption="Rohaniwan Sekte Caodaisme Dengan Jubah Tiga Warna / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13512735601203397174
13512735601203397174
[/caption] "Cao Dai adalah sebuah agama baru yang merupakan gabungan dari berbagai ajaran," ucap Thao Truong, seorang Vietnam yang menjadi pemandu wisata kami. Perpaduan Buddhisme, Kongfusianisme, Taoisme, dan Katolik Roma menjadikan sekte ini kaya akan filosofi. Tak heran jika tokoh keagamaan, seperti Sang Buddha, Jesus Kristus, dan Confucius mendominasi ornamen di dalam bangunan sucinya. Tak cuma itu, lukisan mural yang menggambarkan orang-orang suci menurut versi Cao Dai terlihat menghiasi temple. Tak perlu heran dengan orang suci ala mereka. Sebab tokoh-tokoh dunia, seperti Pemimpin China Sun Yat Seng, Penyair Perancis Victor Hugo, Louis Pasteur, dan Charlie Chaplin bisa menjadi manusia kudus. Sejak didirikan oleh Ngo Van Chieu di tahun 1926, sekte Cao Dai berkembang begitu luas di negeri komunis ini. Kabarnya penganut ajaran Cao Dai telah mencapai tiga juta jiwa atau sekitar tiga setengah persen dari keseluruhan penduduk Vietnam. Para pengikutnya meyakini adanya reinkarnasi, karma, dan juga sufisme. Konsep hirarki seperti di Gereja Katolik Roma juga mereka terapkan. Biarawan dan rohaniwan Cao Dai mengenakan jubah tiga warna yang mengandung makna tertentu. Thao Truong menjelaskan bahwa warna kuning melambangkan Buddhisme, sedangkan warna merah bermakna Taoisme, dan biru sebagai Konfusianisme. Sementara itu para biarawati diharuskan mengenakan jubah putih dengan tutup kepala yang serupa warnanya. Pakaian putih ini nyaris sama dengan yang dikenakan kaum Cao Dai awam. Selain dari warna baju, Cao Dai bisa dikenali dari lambang Mata Ilahi yang senantiasa ada pada ornamen kuilnya. Simbol ini berupa sebuah mata dan alis yang terkurung dalam bidang segitiga. [caption id="attachment_220231" align="aligncenter" width="400" caption="Persiapan Peribadatan di Depan Cao Dai Temple / Foto : Budhi K. Wardhana"]
1351273724961395097
1351273724961395097
[/caption] Sampailah saya di Cao Dai Temple. Ribuan pengikut berbaju putih tampak berbondong-bondong menuju kuil. Sementara ratusan pelancong dan turis bergerombol menunggu di pintu samping. Meski Thao sempat menginformasikan bahwa pengunjung hanya diperkenankan berada di sisi samping bangunan, tapi saya nekat mendekat ke pintu tengah. Awalnya saya memang tak ditegur dan begitu leluasa memotret bangunan temple ini dari beragam sudut. Bahkan saya sempat mengabadikan para biarawan yang akan memulai prosesi persembahyangan. Mendadak seorang petugas menarik saya dan berbicara dalam bahasa lokal agar saya menyingkir ke pintu samping yang disediakan untuk pengunjung. Sedikit keras dia menunjuk papan larangan dan petunjuk yang ditulis dalam berbagai bahasa. Ternyata saya sudah melanggar batas suci yang hanya boleh dilintasi oleh para penganut dan biarawan Cao Dai. Saya pun hanya mengangguk-angguk meminta maaf sembari menahan malu lantaran ratusan pasang mata menatap ke arah saya. Mungkin kalau orang-orang tahu kebangsaan saya pasti mereka akan bergumam, "Dasar Orang Indonesia!" [caption id="attachment_220234" align="aligncenter" width="600" caption="Paduan Suara dan Musik Pengiring Ritual Caodaisme / Foto : Budhi K. Wardhana"]
1351273918890981346
1351273918890981346
[/caption] Selanjutnya saya berdiri gelisah di antara antrian turis. Matahari hampir menunjukkan titik kulminasi. Sebentar lagi ritual peribadatan Caodaisme akan dimulai, tapi saya masih berada di antrian belakang untuk masuk ke dalam temple. Ingin rasanya memotong urutan masuk, tapi pastinya saya bakal disumpahin banyak orang. Sudahlah, saya mencoba bersabar. Akhirnya gong pun ditabuh mengiringi perarakan para biarawan ke dalam prayer hall. Persembahyangan pun dimulai. Dan saya hanya bisa mengintip semuanya dari sela-sela bahu pengunjung. [caption id="attachment_220236" align="aligncenter" width="400" caption="Ritual Peribadatan Sekte Caodaisme / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13512740351431470116
13512740351431470116
[/caption] Perarakan para hirarki ini mengingatkan saya pada Prosesi Konselebrasi Ekaristi dalam Gereja Katolik. Semuanya berdiri ke arah altar yang bergambarkan simbol Mata Ilahi. Mereka berjajar dalam barisan yang rapi dan teratur. Doa-doa Buddhisme mereka daraskan secara khusuk. Sesekali paduan suara ala gerejani dengan iringan musik rebab terdengar menyelingi. Terlihat beberapa kali mereka melakukan ritual doa yang mirip gerakan Shalat kaum muslim. Akhirnya saya bisa mendapatkan tempat nyaman di balkon guna mengamati prosesi ritual Cao Dai. Temple ini terasa sejuk meski ribuan orang menyesakinya. Tak perlu siraman air conditioner karena sirkulasi udara berjalan sempurna. Elemen arsitektur bangunan ini merupakan paduan gaya Asia dan Eropa dengan dominasi warna kuning, hijau, dan merah muda. Sementara puluhan pilar berdiri kokoh di sepanjang prayer hall dengan hiasan naga layaknya legenda China. Persembahyangan memang belumlah usai ketika mendadak alarm smartphone berbunyi. Saya terperanjat dan mesti bergegas kembali ke bis. [caption id="attachment_220238" align="aligncenter" width="600" caption="Patung Pendiri Sekte Cao Dai / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13512741261037829915
13512741261037829915
[/caption] Thao terlihat sibuk mencari satu peserta yang belum kembali. Seorang pria asal Guam tampak paling akhir masuk bis sembari meminta maaf. Memang tak terlalu terlambat. Tapi beberapa orang barangkali sudah tak sabar lantaran perutnya yang mulai kemeruyuk minta diisi. Tak lama berselang bis pun kembali menyusuri jalan raya menuju tempat makan siang. Sesaat Thao bercerita kepada saya tentang ideologi yang dianut negaranya. "Dulu komunisme banyak melakukan larangan, termasuk melarang Caodaisme," ujarnya. Namun seiring berjalannya waktu, propaganda komunis terasa basi di mata rakyatnya. Hingga perlahan-lahan komunis Vietnam mulai membuka diri. Dan legalisasi ajaran Caodaisme di tahun 1985 seakan membuktikan bahwa Pemerintah Komunis mulai banyak mengakomodasi perubahan. Rakyat Vietnam pun bebas menjalankan agama dan spiritulitasnya tanpa diliputi ketakutan. [caption id="attachment_220240" align="aligncenter" width="600" caption="Wanita Petugas Ketertiban Sekte Caodaisme Duduk Melepas Lelah di Luar Temple / Foto : Budhi K. Wardhana"]
1351274290632044994
1351274290632044994
[/caption] Saya terdiam. Kalau ternyata negara komunis seperti Vietnam bisa memberikan kebebasan dan perlindungan pada warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, bagaimana dengan bangsaku yang konon lebih demokratis? Dengan hati miris, saya teringat akan beberapa peristiwa di tanah air. Tentang kekerasan antar agama, kerusuhan berlatar SARA, pemboman rumah ibadah, juga kasus-kasus sulitnya mendirikan tempat sembahyang. Saya menghela nafas. Apakah kita sanggup berlapang dada dengan mengatakan bahwa Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata mesti belajar pada negara komunis tentang kehidupan beragama? "What do you think about this temple?" Tiba-tiba nenek yang duduk di sebelah menanyakan kesan saya terhadap destinasi yang barusan kami kunjungi. Saya hanya menjawabnya dengan senyuman. Sebuah senyum yang getir barangkali. [caption id="attachment_220243" align="aligncenter" width="400" caption="Biarawan Sekte Caodaisme Sebelum Persembahyangan / Foto : Budhi K. Wardhana"]
1351274550982128645
1351274550982128645
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun