[caption id="attachment_217868" align="aligncenter" width="600" caption="Patung Ho Chi Minh Memangku Anak di Depan City Hall / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]
Kejatuhannya berbuah reunifikasi bangsa. Saigon lantas tumbuh bak gadis cantik mempesona.
"Penumpang yang terhormat, dalam beberapa saat lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Tan Son Nath di Kota Saigon..." Saya tergeragap, mengucek-ngucek mata yang sedari tadi tidur-tidur ayam. Akhirnya sampai juga, bisikku dalam hati. Sejenak saya mengubah posisi duduk. Tapi tetap saja kaki saya tidak bisa sempurna mengambil posisi nyaman karena selalu terantuk kursi depan lantaran sempitnya jarak. Sungguh tiga jam yang membosankan. Untunglah Angry Bird yang bermain-main di Android Galaxy Note ini bisa diajak mengusir kejenuhan. Apalagi mbak-mbak pramugari cantik dengan blazer dan rok pendek merah yang berseliweran mampu sedikit membasuh mata. Pesawat mulai miring dan meluncur ke bawah. Segera saya menegakkan kursi dan memasang sabuk pengaman. Tiba-tiba penumpang yang duduk paling ujung membuka penutup jendela. Pemandangan di luar sungguh membuat saya tertegun dan menahan nafas. Kemilau cahaya dari jutaan lampu kota benar-benar membuat mata saya lupa berkedip. Sungguh tak salah jika Saigon kini telah berubah menjadi Ho Chi Minh City, karena itu berarti kota pembawa cahaya. Bahkan tanpa event istimewa pun, gemerlap kota di Vietnam Selatan ini tetap membuat takjub setiap orang yang menyaksikannya. "Mungkin di sini tak pernah mati listrik seperti di Jakarta ya?" desis bapak di dekat jendela yang sontak membuat saya tersenyum kecut. [caption id="attachment_217805" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana Ben Thanh Night Market / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Malam memang belum terlalu tua ketika angin basah Kota Saigon menerpa pori-pori kulitku. Inilah pertama kali saya menjejakkan kaki di sebuah tempat yang selama ini hanya saya kenal lewat film-film heroik Hollywood. Dalam benak saya barangkali Saigon seperti sebuah kota tua dengan puing-puing terserak sisa peperangan. Otak saya membayangkan warga kotanya yang berpenampilan konservatif ala negeri komunis. Kaum pria berkemeja putih dengan celana panjang sederhana. Sementara para perempuannya berambut panjang terpilin rapi dengan rok di bawah lutut. Juga sepeda kayuh sebagai sarana transportasi dengan bertopikan caping bambu ala petani. Tetapi saya segera melupakan bayangan itu. Saigon tak sekuno yang ada di otak saya. Perjalanan menuju pusat kota di Distrik Satu membuka mata saya bahwa Saigon sudah melupakan peperangan yang terjadi sekitar tiga puluh lima tahun lalu. Tiada lagi sisa pertempuran, kecuali yang tersimpan di museum-museum kota sebagai pengingat masa lampau. Kini Saigon adalah paduan gedung pencakar langit dan rumah-rumah sempit warga yang menjulang ke atas. Tak ada lagi sepeda kayuh yang menyemut lantaran jalanan sudah disesaki aneka sepeda motor dengan suara mesin dan klakson yang memekakkan kuping. Begitupun juga dengan masyarakatnya. Ekspansi budaya dan modernisme telah mengubah gaya berpakaian mereka menjadi cenderung kasual, modis, dan dinamis. Tengoklah kaum hawa yang mungkin sudah melupakan rok panjangnya dan menggantikannya dengan
jeans ala
hipster atau celana pendek model
hot pants yang mempertontonkan kemulusan paha dan betis. Meskipun begitu, parade paha wanita yang rata-rata seputih pualam ini tak lantas membuat para lelaki belingsatan. Terbukti saat saya menyaksikan Festival Sepak Bola Internasional 2012 di jalanan Kota Saigon yang memajang perempuan-perempuan aduhai, ternyata kaum adam terlihat cukup santun tatkala menyaksikan para bidadari itu bergaya. Semua mata memang seperti tak berkedip. Sesekali bahkan ada yang minta foto bersama. Namun tampaknya tak ada tangan jahil yang iseng colak-colek dengan siulan-siulan menggoda. Hanya saya saja yang berkali-kali menelan ludah menyaksikan tontonan
syur di depan mata. [caption id="attachment_217809" align="aligncenter" width="400" caption="Gadis-Gadis Cantik yang Menghiasi Festival Sepak Bola Jalanan Internasional 2012 di Saigon / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Tak lebih dari sejam, taksi yang saya tumpangi dari bandara telah memasuki kawasan Pham Ngu Lao. Inilah daerah turis yang cukup legendaris di kalangan backpacker dan traveller dunia berkantong cekak. Tak berapa lama taksi ini berbelok memasuki sebuah jalan yang lebih kecil.
Do Quang Dau Street. Sesaat kemudian sopirnya mulai memperlambat kendaraan hingga akhirnya berhenti. Dia memberi isyarat bahwa kita telah sampai di tempat yang dituju. Sejenak saya kebingungan. Alamatnya memang benar di sini, tetapi mana
guest house-nya? Olala, ternyata
guest house atau hostel di sini tak ubahnya seperti kompleks kost-kostan alias kamar-kamar yang disewakan. Jika diperhatikan, rumah-rumah di Saigon umumnya sempit lantaran mahalnya harga properti. Namun walau tak luas, tempat tinggal tersebut cenderung dibangun vertikal menjadi beberapa lantai. Lantai dasar seringkali dipakai sebagai tempat bisnis, seperti toko, restoran, atau kantor. Sementara kamar tidur dan ruang lainnya berada di lantai berikutnya. Dan ternyata
guest house yang hendak saya inapi ini memiliki karakter serupa dengan bangunan-bangunan lainnya di jantung Saigon. Segera saya keluar dari taksi dan mengangsurkan dua lembar uang Seratus Ribu Dong. Saya melirik argo meter yang menunjukkan angka Seratus Enam Puluh Delapan Dibu Dong atau sekitar Delapan Puluh Empat Ribu Rupiah. Ternyata tak beda jauh dengan hasil kesepakatan antara saya dengan sopir taksi, yaitu Seratus Tujuh Puluh Ribu Dong. Menerima pemberian saya, sopir itu hanya tersenyum sembari mengucapkan terima kasih dalam Bahasa Inggris yang aneh. Ketika saya mempertanyakan uang kembaliannya, dia cuek saja dan hanya berkilah bahwa itu adalah bagian dari tip. Tanpa peduli dia melajukan taksinya dan meninggalkan saya yang dibuat terpaku dengan hati kesal. Sungguh saya menyesali mengapa tadi nekat menggunakan angkutan taksi di luar merk Vinasun dan Mai Linh. Anjrit! Tiga Puluh Ribu Dong betul-betul berarti bagi traveller kere seperti saya. [caption id="attachment_217810" align="aligncenter" width="600" caption="Lalu Lintas Saigon yang Semrawut / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Pagi pertama saya di Saigon adalah sebuah awal hari yang muram. Demikian pula di pagi berikutnya. Hujan tak putus-putus mengguyur kota. Namun jalanan tak pernah sunyi. Jutaan sepeda motor merayap laksana kawanan laron yang memenuhi setiap ruas-ruas jalan. Tak beda dengan situasi lalu lintas Jakarta, kondisi jalan kota Saigon sungguh tak beraturan. Seringkali kemacetan timbul lantaran kendaraan yang menyalahi aturan. Lampu merah nyaris tiada guna. Seringkali trotoar dibajak menjadi jalur motor. Bunyi klakson dan bising mesin terdengar tak henti-henti. Parahnya, polisi lalu lintas seperti tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Anehnya lagi saya justru tak pernah menyaksikan kecelakaan atau sumpah serapah pengguna jalan. "Tak ada seorang pun yang dapat mengontrol lalu lintas di sini. Mungkin hanya Tuhan yang bisa." tutur Tang seorang warga lokal yang hari itu menjadi pemandu saya. Seorang kawan asal Hongkong terlihat terbengong-bengong menyaksikan sepeda motor yang ditumpangi tiga orang dewasa sekaligus. Sementara beberapa traveller kulit putih terlihat mengabadikan suasana jalan yang serba semrawut. "
This traffic is very crazy!" teriak David seorang turis Australia yang kebetulan satu rombongan saat mengikuti tur keliling kota. Saya pun cuma membatin, apa komentar mereka kalau menyaksikan kondisi jalanan Jakarta yang lebih gila-gilaan? [caption id="attachment_217811" align="aligncenter" width="600" caption="Sisa-Sisa Alat Perang yang Dipakai di Perang Vietnam / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Namun menelusuri Saigon tak sekedar bertemu kebisingan dan kesemrawutan. Ketika mengunjungi
War Remnant Museum, saya serasa terlempar ke tengah medan Perang Vietnam yang buas. Pertempuran memang tak cuma menyisakan kisah-kisah kepahlawanan. Karena sesungguhnya yang terjadi di sana adalah tragedi kemanusiaan dan kesedihan berkepanjangan. Tengoklah tentang nyawa yang musnah sia-sia, anak-anak yang kehilangan masa depan, juga peradaban yang dihancurkan. Di sisi lain, peperangan menyimpan cerita cerdik gerilyawan
Viet Cong saat melawan tentara Amerika yang bersenjatakan modern. Dan
Cu Chi Tunnel menjadi saksi kegigihan mereka menggapai kebebasan tanah airnya. Bagaimanapun juga Saigon tak melulu berisi kenangan perang. Peradaban Penjajah Perancis yang mengakar di Vietnam juga meninggalkan arsitektur bangunan yang memikat. Lihatlah kemegahan
Reunification Palace, City Hall, Notre Dame Cathedral, Opera House, Rex Hotel, dan juga gedung-gedung tua lainnya yang mungkin kini sudah menjadi kantor, hotel, atau pertokoan mewah. Tak cuma itu, ternyata tradisi Eropa tertanam pula pada kuliner masyarakat Vietnam yang bernama roti
baquette. Roti berbentuk lonjong berisikan aneka daging, telur dadar, acar, atau sayuran memang paling sedap disantap pagi hari. Tentunya ditemani secangkir teh atau kopi Vietnam yang terkenal. [caption id="attachment_217812" align="aligncenter" width="600" caption="Seruas Jalan Dengan Gedung-Gedung Tua Peninggalan Kolonial Perancis / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Meski sudah bertahun-tahun silam kota ini berganti nama menjadi Ho Chi Minh City, tapi saya lebih suka menyapanya dengan Saigon. Mungkin kata itu memang simpel dan gampang diingat. Nama yang selalu mengingatkan saya pada sebuah grup musik asal Miami Florida,
Saigon Kick. Tentang siapa itu Ho Chi Minh, pastilah semua orang Vietnam tahu dan tak akan lupa pada jasa Bapak Bangsanya yang saat ini fotonya terpampang di setiap sudut kota dan lembaran mata uang Dong.
Uncle Ho, begitulah mereka akrab menyapanya. Mungkin karena ingin menyaingi kepopuleran
Uncle Sam yang menjadi musuh besar mereka di Perang Vietnam. Nama Saigon sendiri resmi dipakai ketika Perancis menganeksasi Vietnam di pertengahan abad 19. Semenjak itu Saigon berubah menjadi layaknya kota modern di benua biru. Pohon-pohon ditanam menjulang, jalanan dibuat lebar beraspal, dan gedung-gedung dibangun megah. Pemerintah kolonial berencana menyulap Saigon menjadi "
Paris in The Orient". Namun sejarah senantiasa berputar. Kolonialis Perancis tersisih oleh kekuatan Jepang di Asia. Dan kaum nasionalis yang berhalauan komunis pimpinan Ho Chi Minh mengambil kesempatan memproklamasikan kemerdekaan Vietnam di saat negeri matahari terbit itu menyerah pada sekutu. Tetapi merdeka tak lantas membuat mereka terbebas dari kolonialisme. Agaknya Perancis masih bersikukuh kembali mencengkeram jajahannya itu. Revolusi bersenjata terus berlanjut. Pertempuran tetap bekecamuk. Negeri yang dicabik peperangan itu akhirnya terbelah dua menjadi utara dan selatan setelah Perjanjian Jenewa tahun 1954 disepakati. [caption id="attachment_217814" align="aligncenter" width="600" caption="Gambaran Pasukan Gerilya Viet Cong di Cu Chi Tunnel / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Uncle Ho dengan ideologi komunisnya dipaksa menerima kenyataan hanya menguasai wilayah utara yang miskin dengan Hanoi sebagai pusatnya. Sementara Saigon sebagai ibukota Vietnam Selatan adalah kawasan yang menjadi boneka negara barat. Peperangan tak jua usai. Malah kian diperparah dengan masuknya tentara Amerika dengan dalih membasmi komunis. Meletuslah babak baru Perang Vietnam sebagai representasi pertempuran ideologi. Menjelang kekalahannya, Amerika mendapat tekanan dalam negeri yang luar biasa. Akhirnya perang ini berakhir setelah tanggal 30 April 1975 Kota Saigon jatuh oleh serangan
Vietnamnese People's Army di bawah komando Hanoi yang didukung Soviet. Vietnam pun kembali bersatu. Mayoritas rakyatnya pun bersorak. Sayangnya Uncle Ho meninggal enam tahun sebelum negeri Indochina itu bersatu. Namun sebagai wujud penghargaan jasanya, pemerintah mengubah nama Kota Saigon menjadi Ho Chi Minh City. [caption id="attachment_217816" align="aligncenter" width="600" caption="Tunawisma di Jalanan Saigon / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Praktis setelah itu Saigon berganti halauan menjadi komunis. Tetapi tampaknya ideologi baru itu tak terlalu menggangu kehidupan warganya. Bahkan selama dua hari
journey ke kota terbesar di Vietnam itu, saya jarang menemukan bendera palu arit berkibar. Ternyata propaganda-propaganda komunis serasa kurang laku di tengah alam keterbukaan yang menjurus kapitalis. Miss Tang yang menjadi pemandu
wisata kami menerangkan bahwa dominasi komunisme cuma terasa di kancah perpolitikan. Partai Komunis memiliki kekuatan super mengatur negara termasuk menentukan Presiden terpilih. Dijelaskannya bahwa untuk mendukung hal tersebut, pemerintah melakukan sensor-sensor di berbagai aspek, termasuk pembatasan dunia maya. "Makanya jangan heran jika Facebook diblok oleh provider internet di Vietnam," tuturnya. Saya mengangguk-angguk sambil tertawa dalam hati karena saya baru saja sukses mengakses situs jejaring sosial terbesar itu. Tentunya dengan sedikit trik. Apa sih yang tidak bisa dilakukan dengan teknologi? Perlahan tetapi pasti Saigon mulai melupakan Perang Vietnam yang menyakitkan. Di bawah pemerintahan sosialis komunis, kota ini bersolek genit laksana gadis jelita. Bangunan megah mulai mencakar-cakar langit. Tetapi meskipun modernisasi merasuki segenap sisi kehidupan, ternyata gaya hidup masyarakat Saigon nyaris tak berubah. Dari dulu mereka gemar ngumpul, ngobrol, dan bersendau gurau, sembari menikmati kudapan. Tak heran jika pagi, siang, sore, dan malam hari di trotoar-trotoar jalan banyak orang yang nongkrong dan makan di warung-warung. Laksana orang Jawa yang punya semboyan
Makan Tak Makan Asal Kumpul, mungkin motto hidup mereka adalah
Selalu Kumpul Sembari Makan.
***
[caption id="attachment_217817" align="aligncenter" width="600" caption="Kebiasaan Warga Saigon Nongkrong dan Makan di Pinggir Jalan / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] "Apakah engkau jadi pergi?" tanya gadis itu membuka percakapan di lobi
guest house. Saya menatap wajah cantik di depanku sambil menganggukkan kepala. Sesaat raut mukanya terlihat lesu. Barangkali ada sedikit kegalauan di hatinya. Meski baru dua hari yang lalu kami bertemu, tetapi saya seperti sudah lama mengenalnya. Namanya Thuy Thi Minh. Dia resepsionis
guest house yang wajah segarnya senantiasa mengundang keakraban. "
I will show you something," ujar Minh sambil tangannya meraih sebuah buku besar yang ternyata adalah album koleksi mata uang berbagai negara. Dia bercerita bahwa uang ini dikumpulkannya dari beberapa tamu yang sukarela menyumbangkan mata uang negaranya untuk dikoleksi. Saya merogoh saku dan memasukkan selembar Lima Ribu Rupiah ke salah satu ruang album yang masih kosong. Dia tersenyum sumringah. Kemudian gadis itu juga mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Dong. "Sebagai gantinya saya akan memberikan ini untukmu," tuturnya. "Tapi, saya akan memberikan dalam bentuk yang lain." Saya tak mengerti maksudnya. Beberapa jenak gadis itu sibuk melipat uang kertas bergambar Uncle Ho hingga membentuk lipatan origami berbentuk hati. Sungguh artistik. "
This is special for you. Supaya kamu selalu ingat saya," ucapnya sedikit menggoda, Takjub saya mengagumi keterampilannya melipat. "
It's so beautiful, Minh," pujiku lalu memasukkan lipatan hati ini ke dalam dompet. Gadis Saigon itu tersenyum. [caption id="attachment_217819" align="aligncenter" width="600" caption="Jam Besar di Pintu Masuk Gedung Central Post Office Saigon / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Beberapa saat kemudian kami saling bertukar kisah. Gadis dua puluh tahunan itu bercerita tentang dirinya, sekolahnya, kotanya, cita-citanya, negerinya, dan hidupnya. Hingga waktu berjalan demikian laju saat seorang pria menghampiri kami dan menanyakan siapa yang pesan tiket bus malam ke Phnom Penh. Saya tersadar. Inilah saatnya saya untuk pergi. Saya sontak berdiri, segera memanggul ransel sembari memperbaiki posisinya agar terasa nyaman. "
I must go right now," ucapku pendek. Minh mencoba tersenyum, tetapi terlihat dipaksakan. "Hati-hati," balasnya kering. Saya menatap wajahnya beberapa jenak. Sungguh jika boleh memilih saya ingin berlama-lama tinggal di sini. Namun awak bus itu sudah tak sabar menunggu. "
Let's go, Sir! The bus is waiting for you." Bergegas saya mengikuti lelaki itu. Pada langkah yang ke sekian saya sempat menoleh ke belakang dan kulihat gadis Vietnam itu masih mengulurkan senyum untukku. Minh menghampiri saya sembari berbisik di telinga. "
Please keep my heart. It will make you lucky." [caption id="attachment_217820" align="aligncenter" width="600" caption="Keriuhan di Kawasan Backpacker Pham Ngu Lao Kota Saigon / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Kuraba sejenak origami hati yang terselip di dalam dompet. Dan saya membalasnya dengan sebuah anggukan. Saya paling benci perpisahan. Sebab di setiap perpisahan ada keharuan yang mesti saya sembunyikan. Entahlah. Mungkin traveller sejati tak butuh perasaan khusus saat memaknai perjumpaan dan perpisahan. Jadi tak perlu ada kegembiraan yang meluap-luap atau kesedihan yang berlebih. Dari bola mataku Minh terlihat selalu tersenyum. Sebuah senyum khas Saigon yang sulit terlupa. Barangkali guratan bibir serupa ini yang membuat banyak prajurit Amerika terpikat. Namun kali ini saya harus benar-benar pergi. Meninggalkan gadis ini, meninggalkan keriuhan Pham Ngu Lao, dan meninggalkan romantisme Saigon yang bising. Sampai kembali suatu saat nanti jika saya rindu untuk menyambangi. Malam kian berjelaga dengan sisa rintik gerimis yang turun satu-satu. Sembari melangkah saya menuliskan pesan SMS ke tanah air. "
Duh istriku, suatu kesalahan besar jika kamu membiarkan suamimu kelayapan di kota ini sendirian..." [caption id="attachment_217822" align="aligncenter" width="400" caption="Papan Nama Jalan di Kawasan Backpacker Kota Saigon / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya