Sudah sebulan Kosasih kehilangan gairah untuk menulis, setiap hari bisanya cuma menatap kertas kosong di atas meja tanpa pernah menyelesaikan cerita barang satu paragraf saja, menyedihkan.
Melamun, menyeduh kopi, hisap rokok, melamun lagi, buang tai, makan roti, minum kopi lagi, hisap rokok lagi, terus kencing, balik lagi ke ruang kerja, lanjut melamun lagi lalu buang tai lagi. Itu-itu saja yang dia kerjakan selama ini.
Inspirasi di kepalanya sih ada tapi Kosasih terlalu banyak pertimbangan untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Bodoh memang, seharusnya dia berhenti saja jadi penulis dan lanjut bekerja sebagai pegawai bank. Tapi Kosasih tetap keukeuh pada pendirian, katanya menjadi penulis itu bekerja untuk keabadian, ah tai kucing.
Sekali waktu dia ingin menuliskan kisah romantis tentang seorang lelaki yang jatuh hati pada teman kerjanya, yang dimana masing-masing dari mereka sudah punya keluarga, si lelaki punya anak satu dan si perempuan baru saja menikah sebulan lalu, ceritanya kepala kantor menugaskan mereka menyelesaikan proyek di luar kota selama dua bulan dan dalam waktu penugasan itu lah benih-benih cinta bersemi macam jamur liar di musim hujan.Â
Ide tulisannya lebih mengangkat konflik tentang cinta dan memiliki, dia ingin menyampaikan bahwa cinta yang sebenarnya tak akan menuntut, cukup saling mengakui maka cinta itu bisa hidup dan abadi. Tapi setelah membuat kerangka cerita Kosasih mengurungkan niatnya.Â
Dia takut istrinya akan membaca tulisannya dan beranggapan bahwa Kosasih sengaja membuat itu untuk mengenang perselingkuhannya dulu semasa dia jadi pegawai bank. "ASU, daripada jadi perkara lebih baik kubatalkan saja" katanya kesal sambil merobek-robek kertas yang berisi kerangka cerita lalu membuangnya ke tempat sampah.
Di lain waktu Kosasih juga sempat ingin membuat kisah yang terinspirasi dari kejadian yang sedang hangat di berita, tentang penembakan enam orang pengawal penceramah yang suka bersuara lantang pada pemerintah.Â
Kisah ini dia beri Judul "Orang-Orang Mati", sempat dia memberi judul "KM 50" tapi dia urungkan, katanya "lebih baik judulnya disamarkan saja agar aman dan tidak terkesan berpihak pada salah satu yang berkonflik, yang penting substansinya sama". seharian Kosasih membuat kerangka cerita, menyusun alur, mereka adegan, menentukan ending dan merumuskan pesan yang akan disampaikannya.Â
Di kisah "Orang-orang mati" ini dia memakai sudut pandang sebagai orang pertama serba tahu, cerita dibuka dengan adegan baku tembak lalu alur mundur ke belakang menceritakan tentang perjalanan ke enam orang pengawal dari semasa mereka aktif di majelis sampai mereka mati dengan peluru bersarang di dada.Â
Banyak pesan-pesan yang akan disampaikan dalam tulisannya ini, seperti tentang keikhlasan murid kepada gurunya, tentang kebebasan berpendapat, tentang perjuangan mencari keadilan, tentang politik dan yang lebih penting tentang kemanusian. Katanya "saat kita berupaya me-manusia-kan manusia, terkadang kita lupa bahwa kita juga manusia".
Persiapan untuk menulis naskah "Orang-Orang Mati" sudah selesai, berkali-kali Kosasih membaca kerangka cerita yang sudah dibuatnya, memeriksanya dengan teliti, "ini tema sensitif, jangan sampai gagal" katanya.