Mohon tunggu...
Rita Suradipa
Rita Suradipa Mohon Tunggu... -

Pensiunan, masih belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Nasi Bungkus" di Mata Ruhut, Fadli, dan Jokowi

31 Maret 2014   21:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin ketika saya sedang asyik mainan gadget yang menampilkan kabar pemilu, adik lelaki saya, Si Dan, tiba-tiba datang sambil mengomel. Katanya, “Mbak, jangan nulis komentar belain Jokowi, ntar kamu dipidana!”

Bocah gemblung adik saya ini. Saya mendelik padanya tapi dia tak gentar. Ia menunjukkan berita di HP nya, mengutip the barking dognya partai sebelah, Ruhut Sitompoel, yang dengan gagah berani menyuarakan bahwa pendukung Jokowi di dunia maya adalah massa bayaran sehingga suara mereka adalah kejahatan dan karenanya wajib dipidanakan.

Waini, mak jojobang mawingowengis. Tersinggung bin ngamuklah saya. Bukan pada si ganteng adik saya, tapi pada si mulut besar Ruhut Sitompoel dan timses partai-partai lawan Jokowi yang membolak balik fakta oleh provokasi seorang narasumber yang tak jelas identitasnya. Sejauh apa kredibilitas narasumber berita itu nampaknya tak penting bagi Tribune News dan media lain yang menyebarluaskannya. Yang penting  bagi mereka adalah bisa menciptakan gendang untuk Ruhut menari.

Saya menarik nafas panjang, menenangkan diri yang kesal. Saat itu ada tayangan MetroTV yang mengudara, selintas saya melihat Fadli Zon. Dengan mimik mukanya yang serius, Fadli berkata yang intinya jika orang baik tidak mau bertindak maka orang jahat yang akan mengambil kuasa.

Baiklah kawan, you asked for it. Saya memantapkan diri mengambil notebook. Saatnya pensiunan ini kembali ke sekolah, kembali mencoba menulis, semoga ada manfaatnya...

(Ternyata saya harus masak dulu, nanti ya disambung lagi, maaf)

Perkenalkan Om Ruhut, nama saya Rita, saya pendukung berat Jokowi (dan Basuki) sejak keduanya maju ke pilkada DKI lantaran track record keduanya yang luar biasa sebagai pemimpin yang pekerja keras dan sepenuhnya ingin memakmurkan rakyatnya. Selama ini saya rajin memberi semangat, mengomentari, dan mendebat aneka berita dan fitnah terhadap Jokowi (dan Basuki) melalui dunia maya. Setahu saya, karena kemudian saya jadi berkenalan dan berkomunikasi dengan para pendukung Jokowi (dan Basuki) lainnya di dunia maya, kami semua adalah tak lebih dari sekadar RELAWAN. Tak ada satu pun yang menerima uang dari Pak Jokowi maupun PDIP. Justru kami-kami ini yang berinisiatif mengumpulkan uang hasil keringat kami sendiri untuk membeli baju kotak-kotak yang kami bagikan untuk anggota keluarga dan teman dekat. Kawan baik saya di Bandung mengumpulkan uang untuk mencetak CD berisi hasil kerja keras Pak Jokowi di Solo. Seorang kawan lain di Kanada juga antusias mengabari agar tak ragu mengabarinya kalau kami butuh tambahan dana mencetak kaos di komunitas kami.

Saya yakin sekali bahwa isyu relawan Jokowi adalah manusia bayaran justru sengaja dihembuskan lawan politiknya. Pemicunya adalah lahirnya kembali Jasmev (Jokowi Ahok Social Media), wadah para relawan di twitter pada putaran kedua pilkada DKI Jakarta 2012. Kini Jasmev beralihrupa menjadi Jasmev2014 (Jokowi Advanced Social Media 2014). Jasmev yang didukung relawan  penuh energi dari manusia-manusia beridentitas jelas dari seluruh penjuru dunia rupanya menggetarkan para lawan Jokowi. Dan yang menggelikan, lawan-lawan Jokowi inilah yang selama ini di dunia maya justru lebih dikenal sebagai biangnya akun bayaran alias Pasukan Nasi Bungkus.

Karakteristik akun bayaran dengan akun relawan jelas bisa dibedakan dengan sangat mudah dan kasat mata. Akun relawan adalah manusia nyata yang berpendidikan sehingga mampu melakukan debat secara terukur sedangkan akun buatan Pasukan Nasi Bungkus hanya mampu menebar fitnah dari satu hal yang sama secara berulang-ulang, atau sekadar hit and run. Pasukan Nasi Bungkus tidak tertarik untuk berdebat karena selain tidak mampu juga memang tidak dibayar untuk itu. Pasukan Nasi Bungkus hanya berkepentingan untuk menuliskan fitnahannya secara berulangkali sehingga terbaca sebanyak mungkin orang. Tak heran, berita yang memang dikondisikan untuk menyerang Jokowi menjadi ajang berkumpulnya komentar pasukan nasi bungkus hingga komentarnya melonjak hingga 500% dari komentar yang alamiah.

Jika Anda seorang news junkie seperti saya, Anda pasti langsung mengenali berita-berita yang sengaja dikondisikan untuk menggoreng isyu yang mendadak bermunculan untuk menyerang Jokowi. Bisa melalui jubir LSM nasi bungkus atau sekadar puisi yang kekanak-kanakan.

Kemarin setidaknya ada satu berita yang isinya hampir sama persis di tiga media massa yang tidak bersaudara. Artinya, redaktur media massa hanya sekadar mengunggah berita press release tanpa melakukan pengayaan, apalagi check and recheck sama sekali. Berita dari email seorang dosen ekonomi yang nampaknya sangat condong pada kutipan kultwit #melawanlupa politisi PKS Fahri Hamzah ini di Tribune News mendapatkan hits yang sangat tinggi dan dikomentari hampir 90 orang. Ini angka yang fantastis karena setahu saya tak banyak komentator untuk berita-berita di Tribune News. Kalau pun ada jumlahnya hanya sepuluhan saja biasanya.

1396250277372182085
1396250277372182085

sumber

Lalu, darimana datangnya kenaikan pesat para komentator yang sebagian besar adalah penghujat Jokowi itu? Dan kenapa isihujatannya hanya seperti kaset rusak, mengulang-ulang isyu yang sengaja hanya separuh saja disampaikan yaitu Megawati menjual aset negara ketika menjadi presiden Indonesia? Aneh bukan? Karena tak satupun dari pasukan nasi bungkus yang sangat rajin meng-update komentarnya (sehingga selalu berada pada bagian teratas) itu yang mau mendebat komentar lain yang mempertanyakan mengapa berita tersebut sengaja MENAFIKAN FAKTA bahwa ketika itu Mega terikat Letter of Intent yang diwariskan mendiang Presiden Soeharto dengan rentenir IMF. Mereka juga cuek ketika ada yang menanyakan kenapa sang pakar ekonomi sengaja mengesampingkan fakta bahwa Republik Indonesia setengah mati terkena Krismon ketika Mega berkuasa. Begitu juga fakta bahwa opsi pilihan untuk mengisi APBN yang minus hanyalah berhutang (ke rentenir luar negeri yang mencekik leher) atau menjual aset.

Tentu saja saya berkesimpulan, itu karena para penulis komentar yang sangat banyak tersebut memang pasukan nasi bungkus yang sesungguhnya. Merekalah hantu-hantu blau penggoreng isyu yang mau menulis apa saja untuk menghujat Jokowi dan partainya demi sesuap nasi.

Ketersinggungan saya mereda. Adik saya yang ganteng juga nampaknya sudah memahami tausiyah kakaknya ini, agar ia tak mudah membaca apa yang tertulis dengan begitu saja tanpa mengamati fakta yang sesungguhnya terjadi.

Salam Indonesia Hebat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun