Pendahuluan
Setelah seseorang berhasil dilantik menjadi seorang dokter, mereka haruslah pada awalnya mengabdi terlebih dahulu pada negara yang telah memberi banyak hal dari mereka masih menjadi mahasiswa sampai mendapatkan gelar seorang dokter. Untuk dapat melakukan hal tersebut, maka setiap dokter lulusan baru diharuskan untuk mengabdi kepada negara dengan cara mengikuti wajib kerja yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Melalui wajib kerja ini, kita biasanya diharuskan untuk bekerja di daerah sebagai seorang dokter umum dalam bentuk pengabdian. Setelah mengabdi kepada negara selama kurang lebih satu tahun melalui internshiptersebut, maka seorang dokter baru boleh mengajukan surat izin praktik (SIP) supaya dapat melakukan praktik kedokteran secara independen.
Namun, sekarang tidak hanya dokter umum yang diwajibkan untuk melakukan wajib kerja. Pada tahun 2017, telah beredar sebuah berita di media yang menyatakan peraturan baru yang telah secara resmi disahkan oleh presiden negara Republik Indonesia. Dalam keputusan presiden tersebut, telah diresmikan suatu peraturan yang membuat setiap lulusan dokter spesialis harus melakukan wajib kerja di rumah sakit yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Wajib kerja ini, atau biasa disebut dengan internship, merupakan hasil dari diskusi antara presiden dan jajaran dari kementrian kesehatan di Indonesia. Dari hasil diskusi tersebut, terbitlah Perpres Nomor 4 tahun 2017 perihal Wajib Kerja Dokter Spesialis. Sekarang, berdasarkan perpres yang telah diresmikan ini, makan lulusan dokter spesialis di Indonesia harulah melakukan wajib kerja yang telah disesuaikan oleh pemerintah. Wajib kerja untuk dokter spesialis ini berlangsung selama satu tahun setelah kelulusan seoang dokter spesialis menurut regulasi pemerintah di Perpres yang telah diresmikan tersbut.
Menurut Pemerintah
Menurut perspektif pemerintah, mengapa hal ini dibutuhkan? Menurut beberapa hal yang tertulis di Perpres Nomor 4 tahun 2017, dapat kita simpulkan bahwa akses daerah di luar Pulau Jawa masih memiliki minim tenaga medis yang memadai, dan karena hal tersebut, dokter spesialis perlu dikirim ke luar kota supaya dapat dilakukan pemerataan. Meskipun di daerah tersebut ada beberapa dokter yang kompeten, namun perlu disadari bahwa di daerah tersebut jumlah dokter spesialis masih sangatlah minim, terutama di daerah terpencil yang jarang didatangi oleh orang-orang yang tinggal di kota. Oleh karena itu, salah satu cara yang bisa dibilang cukup efektif dan pemerintah berharap supaya pemerataan akan pada akhirnya bisa dilakukan oleh seluruh Indonesia.
Selain pemerataan, menurut Permenkes Nomor 10 tahun 2016, peningkatan mutu di daerah juga perlu dilakukan untuk kesejahteraan rakyat yang ada di daerah, tidak hanya di Jakarta atau kota besar lainnya. Dengan melakukan pemerataan, menurut opini saja juga, rakyat Indonesia tidak perlu mendatangi kota besar lagi karena hal tersebut sekarang bisa diakses oleh rakyat di daerah secara dekat.
Lagipula, setelah melihat beberapa statistik, pemerataan dapat kita lihat bahwa hal tersebut dapat menjadi hal yang penting demi kemajuan Indonesia di bidang kesehatan. Menurut IDI sendiri, pertama-tama, dapat disampaikan bahwa pada tahun 2014 pemerataan dokter umum dan juga spesialis belum merata ke seluruh Indonesia. Mereka hanya berada untuk melayani di kota-kota besar dan alhasil kota kecil mejadi tertinggal. Dari lebih dari 19000 dokter spesialis yang ada di Indonesia, daerah-daerah di Indonesia seperti Indonesia bagian timur dan daerah kepulauan seperti Riau masih sangat memprihatinkan. Pada tahun ini, Indonesia memiliki rasio 12,7 dari 100000 penduduk untuk dokter spesialis. Namun, di Indonesia bagian timur, dokter spesialis sangatlah minim sehingga rasio dokter spesialis di provinsi Maluku Utara bahkan kurang dari 5 dari 100000 penduduk provinsi tersebut.
Pemerintah sudah sangat siap untuk bisa melakukan kebijakan ini. Untuk tetap mensejahterakan dokter spesialis yang ada di Indonesia saat melakukan wajib kerja, pemerintah akan memberikan insentif sekitar 20 juta dari kemenkes sendiri, ditambah dengan 30 juta dari pemerintah daerah dan tambahan 30 juta lagi karena biaya pelayanan sesuai dengan perkataan kepala PPSDM, drg Usman Sumantri. Hal ini dapat dijamin untuk mensejahterakan dokter tersebut.
Bagaimana dengan para dokter?
Tentu saja, sebagai sebuah kebijakan untuk suatu profesi, kita juga perlu untuk mengetahui apakah orang-orang yang terlibat di dalam profesi tersebut juga setuju pada kebijakan pemerintah yang baru dikeluarkan ini. Apakah para calon dokter dan dokter spesialis setuju akan hal ini? Setelah menanyai beberapa mahasiswa kedokteran, mereka tidak begitu setuju akan wajib kerja ini. Salah satu dari teman saya menyatakan bahwa dengan mengeluarkan wajib kerja dokter spesialis ini, pemerintah seakan-akan tidak begitu menghargai seluruh kerja keras yang telah dilakukan oleh seorang calon dokter untuk menjadi seorang dokter. Mengapa hal seperti ini bisa dicetuskan? Karena menurut mahasiswa kedokteran, meskipun banyak janji pemerintah untuk memberikan gaji besar kepada para dokter saat wajib kerja, tidak semuanya bisa terlaksana dengan baik dan para dokter saat wajib kerja mendapatkan gaji yang tidak sepadan dengan kerja keras yang telah dilalui olehnya.
Saat ini saja, karena BPJS kesehatan juga, dokter umum yang digolongkan PNS oleh pemerintah hanya menerima gaji sekitar 10 juta dari pemerintah. Gaji yang cukup kecil untuk sebuah profesi yang memerlukan biaya besar, waktu yang lama, dan keahlian yang lebih dari profesi lain pada umumnya. Seorang dokter juga harus memerhatikan banyak etika dalam pekerjaannya, dan hal ini membuat profesi dokter makin sulit untuk bisa dicapai oleh orang-orang pada umumnya. Banyak dokter yang mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari pemerintah, namun tidak diberikan.