Mohon tunggu...
buddy ace
buddy ace Mohon Tunggu... -

Menulis untuk dibaca oleh orang lain, pertama kali saat duduk di bangku kelas 6 SD. Adalah sebuah surat dari rakyat (baca: saya) untuk presiden (baca: Pak Harto). Alhamdulillah dibalas, setahun kemudian saat saya telah duduk di bangku kelas 1 SMP. Memang terlambat, tapi itulah yang membuat saya terus semangat menulis, menjadi jurnalis sampai saat ini, disamping tentu saja karena dengan menulis saya semakin menyukai kegiatan membaca yang menjadi hobby saya sejak kecil. Bukankah penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Begitu pun sebaliknya, dengan membaca dan terus membaca kemampuan menulis pun semakin berkembang ke arah yang lebih baik. Artinya, jangan pernah berhenti menulis dan membaca!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Toleransi Pohon Cemara

22 Desember 2010   06:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:30 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12930408981106551729

Seorang kawan melalui akun facebook-nya  menceritrakan bagaimana indahnya  relasi antar manusia dimuka bumi. Pada Jumat yang kesekian itu, putrinya yang baru pulang dari TPA, lengkap dengan busana muslimah berlari kecil menuju ke arahnya yang sedang berdiri di depan pintu rumah. Sang putri nampak riang gembira, sembari bernyanyi lagu "We wish you Merry Chirstmast and Happy New Year" dan bergerak seperti gaya Barbie, film kesayangannya. Aha.... "Anak kecil lebih paham apa arti toleransi," ujar kawan baik itu. Sekitar 10 tahun lampau, saat ponakan saya berusia 3 tahun, lagi lucu-lucunya dan tentu saja lagi banyak maunya, sempat merepotkan mama dan papanya, karena keinginannya yang tak lazim. Ia minta dibelikan Pohon Cemara yang ada hiasannya, yang sempat dilihatnya saat pergi ke mal. Mindset kita, Pohon Cemara yang dihias adalah Pohon Natal bagi ritual perayaan Natal ummat Kristiani. Tapi ponakan saya dalam alam bawah sadarnya itu adalah Pohon Cemara. Dan kata guru, pohon harus dilindungi. Dan asumsi saya, sang ponakan akan berkata dalam hatinya, akan lebih hebat lagi jika pohon itu dihiasi selain dilindungi. Dan itulah Pohon Cemara baginya yang harus dibeli untuk di bawah pulang kerumah. Maka berdirilah "Pohon Cemara Hiasan" di rumah ponakan saya. Tak lebih sehari komentar pun bermunculan dari berbagai kalangan; keluarga, kerabat, sahabat dan tetangga pun mulai bergunjing soal Pohon Cemara, eh Pohon Natal, eh, macam-macam persepsi yang muncul saat melihat ada Pohon Cemara yang dihias  di rumah kaum muslimim. Memilih mendengarkan komentar atau memilih menyenangkan si buah hati? Maka adik saya, sebagai kepala rumah tangga memilih menyenangkan putri tercintanya. Ohhh... [caption id="attachment_79529" align="alignright" width="410" caption="Hidup Di Hutan Tropis"][/caption] Alangkah indahnya sebuah toleransi yang dilandasi kasih sayang terhadap sesama manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun