Mohon tunggu...
MBudiawan
MBudiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Indahnya Alam Papua

Spesialist dibidang Survey dan Perencanaan kehutanan. Sewaktu muda aktif sebagai seorang kartunis dan penulis di beberapa media di kota Bandung Pernah bekerja di beberapa perusahaan swasta nasional, PT. ASTRA, PT. Sinar Mas Forestry, PT. Kiani Lestari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pak Guru Lodwick

17 April 2015   08:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:00 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu saat Ramang sedang melap tubuhnya dengan handuk di tepi tebing sebuah kali. Tampak dari kejauhan datang seorang laki-laki kurus memakai topi warna hitam menghampirinya. Dengan alas sendal jepit, celana pendek dan pakaian sisa-sisa kampanye tahun lewat, terlihat dari gambar orang dan tulisan calon anggota legstatif , coblos no sekian.

Pagi itu memang agak dingin tidak seperti biasanya, tadi malam hujan deras menyirami bumi Papua. Namun walaupun begitu, bagi Ramang dan kawan-kawannya yang sedang bertugas di kampung tersebut, bukan halangan untuk mandi di kali.

“Bapak Bosnya yang sedang melakukan survey di kampung?” tanyanya.  Sambil mengerutkan alisnya.

“Bukan, bukan saya” balas Ramang. Sambil menjulurkan tangan menerima salam perkenalan dari orang tersebut.

“Saya Lodwick” katanya,”saya baru datang dari hutan, habis pangkur sagu”

Ya, saat ini jatah beras Raskin mulai dikurangi, penduduk diminta untuk bisa bertani, menanam padi. Namun karena kebanyakan mereka tidak pernah mengenal yang namanya bertani, sekarang mereka kembali disibukan seperti dahulu untuk mencari sagu di dusun sagu.

“Ramang” saat berjabat, terasa tangan orang itu kasar, tanda seorang pekerja keras. Itu yang ada dipikiran Ramang.

“Jadi Bos survey nya  dimana?” tanyanya lagi penasaran.

“Ada di sana, di sekolah” ujar Ramang menunjuk kearah dimana mereka menginap semalam. Sebuah sekolah permanen yang dibangun oleh pemerintah untuk pendidikan anak-anak kampung. Hanya saja sekolah tersebut sudah lama tidak digunakan, kondisinya tidak terawat. Halaman luasnya ditumbuhi rumput tak terurus. Kebetulan memang tadi malam Bapak Kepala Kampung menyuruh rombongan survey menginap di sekolah,  rombongan memakai dua buah kelas.

“Ya, saya nanti akan kesana...” katanya lagi sambil beranjak pergi kearah sebuah rumah yang tidak terlalu jauh dari kali dimana Ramang mandi.

Ramang memang selaku pimpinan di perusahaan, namun dalam hal kegiatan survey kali ini, dirinya hanya sebagai pendamping saja. Segala urusan sepenuhnya meerupakan tanggung jawab Konsultan Pelaksana, Pak Yono.

“Pak,  sebentar lagi kami akan melakukan survey kelapangan, jadi kayaknya kita harus cepat-cepat bergerak. Mengingat cuaca yang kurang bagus...” Ramang mencoba menjelaskan, sambil menatap ke langit Papua yang biasanya biru cerah, sebuah warna yang  indah untuk dipandang, sekarang terlihat kelam. Hujan bisa saja datang sewaktu-waktu, “Jam delapan kita sudah mulai bergerak, Pak”

“Tidak apa, sebentar saja kok “ kata Pak Lodwick lagi,”Ada yang mau disampaikan. Saya juga guru disekolah itu”

Pak Lodwick kembali melangkahkan kakinya yang sempat terhenti, sendal jepitnya tampak kotor oleh lumpur basah berwarna kecoklatan.

Ramang bergegas menghampiri sepeda motornya yang terparkir, secepatnya dia harus menemui Pak Yono. Hal ini harus disampaikan kepadanya. Ada gelagat yang kurang baik sepertinya, gelagat yang sudah bisa ditebak oleh Ramang. Namun hal ini pasti merupakan hal baru buat Pak Yono dan teamnya dari Jakarta. Motor langsung dia stater, Ramang pacu dengan kencang melalui jalanan berlumpur dan berair kearah sekolah.

“Pak, nanti ada orang yang mencari bapak” Ramang menjelaskan kepada Pak Yono secara detail begitu tiba didalam raung kelas. Akhirnya Pak Yono memahami  kondisi yang ada berdasarkan pengalaman Ramang selama hampir satu tahun berada dipedalaman Papua.

“Ya, nanti kita hadapi sama-sama saja Pak” pintanya pada Ramang.

Saat Ramang menjemur pakaian yang dia cuci, tampak Pak Lodwick melintas didepannya. Pakaiannya sudah ganti, beliau memakai batik, celana panjang dan bersepatu. Sementara topi merahnya masih tetap dia pakai.

Saat Ramang memanggilnya dari atas, kebeetulan posisi teras halaman sekolah lebih tinggi sekitar setengah meter dari tanah, Pak Lodwick sepertinya acuh saja. Bukan berarti beliau tidak tahu dirinya dipanggil oleh Ramang. Ramang paham, beliau tidak butuh dirinya, yang dicari adalah Pak Yono. Ada-ada saja....Padahal Ramang memanggil itu punya maksud baik, mau menunjukan posisi Pak Yono.

“Bapak, bapak kan sedang mencari Pak Yono” kata Ramang setelah beberapa kali memanggil Pak Lodwick, “ Pak Yono ada di dalam kelas ini, dibelakang saya”

Beliau baru melirik dan tanpa banyak bicara, Pak Guru Lodwick langsung masuk kedalam ruangan kelas. Ramang langsung menyusul dari belakang setelah sebelumnya membetulkan letak pakaian yang dia jemur diseutas tali rapia.

Ruangan kelas yang kami pakai memang tidak begitu terawat, banyak rumput dan sampah bertebaran dimana-mana. Ditambah lagi kedatangan Ramang dan kawan-kawan, menambah kekotoran didalamnya. Tapi Ramang sudah menyampaikan kepada rombongan, jika sudah selesai kegiatan kita akan bersama-sama membersihkan kelas itu.

Bangunan permanen itu terdiri dari 4 kelas, didalamnya berjejer bangku-bangku dan kursi tempat anak-anak belajar. Meja dan kursi masih baik kondisinya. Di pojok ruangan disamping meja guru, ada sebuah lemari berisi buku perpustakaan. Semua bukunya masih bagus-bagus. Malah kayaknya jarang ada yang menyentuh.  Ramang sempat membuka isi lemari tersebut. Bukunya bagus-bagus. Rata-rata terbitan Gramedia, tahu sendiri kwalitasnya.

Setelah Ramang perkenalkan Pak Lodwick dengan Pak Yono, semua duduk di kursi. Masing masing duduk berjauhan, sesuai dengan posisi kursi dan meja belajar.

“Selamat pagi, sebetulnya pagi ini anak-anak mau sekolah hanya karena bapak-bapak menginap disini jadi.....” Pak Lodwick memulai membuka percakapan.

“Bukannya sekolah sudah lama libur? Kata Pak Kepala Kampung sudah lama anak-anak tidak sekolah ikut orang tuanya ke hutan mencari sagu” potong Ramang, dirinya tidak terima jika karena keberadaan mereka menginap disekolah yang menjadipenyebab anak-anak diliburkan, “ Setiap kami datang tidak kesini, pernah ada ada anak yang sekolah”

Biasanya dimusim hujan anak-anak sudah pulang ke kampung, mereka masuk dan belajar di sekolah. Jika Musim panas sekolah mereka adanya di hutan, alam adalah sekolah mereka. Namun karena sekarang Beras Raskin tidak ada dan harga beras dipasaran yang melambung tinggi, naka-anak harus ikut kembali kehutan untuk ikut pangkur sagu. Mereka kembali harus makan sagu.

“Ya, begini, Pak. Ya memang anak-anak diliburkan....mereka ikut orang tuanya ke hutan” Pak Guru meralat ucapannya sambil agak tergagap, “Sebenarnya, saya mau menyampaikan bahwa dulu ada perusahaan seperti  bapak dorang yang menginap di sekolah ini selama 2 hari, begitu pulang mereka menitipkan amplop berisi uang 3 juta rupiah”

“Wah jadi kami harus bayar 3 juta?  Masa kami harus bayar sebanyak itu, Pak Guru?” Ramang kaget bukan main, “Kami tidak terpikir seperti itu, coba bayangkan darimana kami bisa mengeluarkan uang sebanyak itu. Anggaran yang ada bukan untuk itu, ini pun kami sudah mulai kekurangan stok bahan makanan”

“Ya, itu sebagai gambaran saja buat bapak-bapak” katanya lagi tanpa dosa, “Lagian kami ini selaku guru honorer yang membersihkan dan  menjaga sekolah selama ini, guru-guru PNS semuanya di kota, tidak pernah datang kesini”

Apa yang disampaikannya sebagai memang benar, kebanyakan guru yang sudah menjadi PNS memang jarang ada di kampung, semua di kota. Jarang muncul batang hidungnya namun gaji mereka jalan terus. Hanya saja untuk urusan kebersihan, disitulah letak tidak benarnya.

“Pak guru, selama ini perusahaan bukan tidak pernah memperhatikan sekolah yang ada dilingkungan Distrik ini, semua sekolah setiap tahunnya kami berikan bantuan buku-buku. Sekarang kami numpang saja, sudah diminta bayar sebanyak itu”

“Ya, kalau tahu seperti itu mungkin tadi malam kami tidak akan tidur di sekolah. Lebih baik kami buat camp diluar. Kami toh bawa tenda biru” pak Yono turut menimpali,”Kami diijinkan oleh oleh Pak Kepala Kampung, katanya sekolah sedang libur”

Pak guru Lodwick sepertinya tidak merespon ucapan kami, “Ya, saya pun tidak memintaharus  3 juta. Berapa saja, terserah bapak-bapak...”

“Robi, coba panggil Pak Boy diruangan sebelah biar kita cepat bergerak” Ramang menyuruh staff nya untuk memanggil Babinsa yang turut mendampingi rombongan.

“Pak guru, ini Pak Babinsa. Mudah-mudahan dengan adanya beliau semua bisa kita selesaikan secara baik-baik...” kata Ramang sambil melirik kearah Babinsa yang sudah muncul didalam kelas. Ramang menjelaskan duduk persoalan yang terjadi pada Pak Boy.

“Ah, tadi saya bilang kan itu hanya sebagai gambaran. Saya tidak memaksa bapak-bapak. Kalau tidak ada, ya tidak apa-apa....” ujarnya tanpa menunggu Pak Babinsa menyampaikan ucapannya. Beliau melangkah keluar dari ruangan kelas. Tampak sekali raut ketakutan diwajahnya.

“Pak guru, mengajar apa disekolah ini?” tanya Ramang sambil mengejar keluar ruangan, tiada lain untuk mencairkan suasana.

“Saya guru bahasa inggris dan umum” balasnya pendek tanpa . Terlihat raut mukanya yang agak masam.

Setelah suasana agak cair, kemudian beliau mulai mengajak berbicara dalam bahasa inggris. Namun menurut Ramang yang pernah kursus bahasa inggris selama setahun waktu kuliah di bandung dulu, apa yang diucapkannya itu salah. Belum lagi kemudian beliau bicara dengan bahasa jawa, yang juga sama salahnya. Ramang hanya bisa tersenyum dalam hati, tidak berani mengoreksinya. Yang disesalkan oleh Ramang hanya satu saja, bagaimana jika apa yang diucapkan oleh beliau dijadikan patokan dan dianggap sebuah kebenaran oleh murid-muridnya?

Pak Yono yang asli orang jawa, hanya mesem-mesem saja guping dari jarak jauh. Anggotanya malah tertawa-tawa mendengarkan bahasa jawanya Pak Guru.

“Sebenarnya dulu Pak Guru kuliah dimana?” tanya Ramang.

“Dulu saya di SMEA  sekarang jadi SMK” dekat lampu merah Jalan Mandala di kota.

“Oh, saya pikir kuliah di  Uncen atau di Jawa sana”

“Dulu memang saya mau kuliah, tapi tidak ada biaya...” ujar Pak Guru menjelaskan.

“Mau kuliah dimana sebenarnya?” tanya Ramang penasaran.

“Di Amerika, tapi karena tidak ada biaya jadi tidak kesana...” polos sekali ucapannya.

Ramang hanya melongo. Tadinya dipikir mau kuliah di di Papua ataupun di Pulau Jawa. Lulus  PMDK namun tidak ada biaya, itu wajar. Ini Amerika? Kalau kayak gitu aku juga sama, he...he....

“Jaman dulu belum ada beasiswa seperti sekarang ini, ya Pak?” Ramang kembali menyambung pembicaraan.

“Ya, jaman Suharto belum ada”

Percakapan  Ramang tutup sampai disitu, kerena terlihat rombongan sudah menunggu dirinya, mereka sudah siap semua. Suara deru sepeda motor masing-masing terdengar meraung-raung. Gerimis mulai turun dipagi hari itu, namun pekerjaan tetap harus berjalan.

Malam hari disaat rombongan sedang beristirahat setelah seharian masuk hutan, tiba-tiba Kepala Kampung datang keruangan kelas.

“Coba bapak baca dulu” katanya kepada Ramang sambil menyodorkan sebuah map. Pak Kepala Kampung duduk disamping Ramang.Terlihat  Pipi kembung sebelah akibat sirih pinang yang sedang dikunyahnya.

“Apa isinya, Pak?” tanya ramang sambil membuka map. Ternyata sebuah proposal. Isinya sama persis dengan permintaan dari guru Lodwick tadi pagi. Permintaan uang 3 juta rupiah, karena telah menginap di sekolah, sebagai ganti menjaga kebersihan. Proposal itu atas permintaan Pak Lodwick dan ditandatangani oleh Kepala Kampung sendiri.

Ramang pikir tadi pagi itu semuanya sudah selesai, nyatanya? Pak Guru Lodwick masih penasaran sampai meminta kepada Kepala Kampung untuk dibuatkan proposal seperti itu. Ada-ada saja....

“Bukan kah bapak sendiri yang mengijinkan kami untuk tidur di sekolah ini? Kalau memang harus bayar sebanyak 3 juta,  lebih baik kami tidur diluar. Kami bisa bikin bevak atau camp . Kami tidak ada persiapan untuk itu, Pak.  Tapi tadi pagi pun sudah saya sampaikan kepada Pak Lodwick, akhirnya beliau mau menerima penjeasan kami”  panjang lebar Ramang menjelaskan kepada Pak Kepala Kampung.

“Ya, sudah kalau begitu” lalu Pak Kepala Kampung melipat dan memasukan kembali surat kedalam amplopnya, “Ini, ada satu lagi, Pak”

“Apalagi, nih?” Tanya Ramang keheranan, saat kepala kampung menyodorkan sebuah buku tulis tipis.

“Buka saja dulu, katanya sambil tersenyum. Tampak giginya yang merah agak kehitaman akibat memakan sirih pinang.

Akhirnya surat itu dibuka, lalu dibaca.... Setelah dilihat, disitu tertulis ibu-ibu PKK yang terlibat di dapur untuk memasak makanan kebutuhan team survey. Walah darimana kami harus bayar untuk orang sebanyak itu? Jumlah tukang masak sebanyak sebelas orang...urutan No.1 ibu ketua PKK, No.2. Sekertaris, No. 3 Anggota....dst, sampai sebelas orang? Sementara yang dimasak  hanya beras dan mie saja.....paling tinggi ikan sarden. Apa perlu orang sebanyak itu? Benar tidak yang masak sebanyak itu?

“Kami sudah siapkan uang buat yang masak, tapi ya tidak sebanyak itu. Kami sudah siapakan buat Ma Ce saja” Ramang menyampaikan semuanya dengan tenang tanpa emosi, harus sabar. Toh semuanya demi perusahaan tempatnya bekerja, dapur keluarga Ramang di Pulau Jawa sana,”Untuk orang sebanyak itu, jelas kami tidak ada dananya... Bagaiman Pak Kepala Kampung?”

“Ya, tidak apa.....Buat Ma Ce saja” ujarnya. Terdengar suara gigi yang bergemeretak dari mulut Pak Kepala Kampung menghancurkan buah pinang kering yang keras itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun