Mohon tunggu...
MBudiawan
MBudiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Indahnya Alam Papua

Spesialist dibidang Survey dan Perencanaan kehutanan. Sewaktu muda aktif sebagai seorang kartunis dan penulis di beberapa media di kota Bandung Pernah bekerja di beberapa perusahaan swasta nasional, PT. ASTRA, PT. Sinar Mas Forestry, PT. Kiani Lestari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

27 Ekor Anak Ikan Arwana

14 Juli 2014   19:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:21 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibawah rindangnya pohon akasia tampak tiga orang anak sedang asik memancing. Sudah sedari tadi menunggu, namun mata pancing  Arman belum juga ada yang mau makan. Hal ini dijadikan olok-olok oleh Jonas dan Tony. Ya mereka berdua sudah mendapatkan ikan Gastor. Masing-masing 2 ekor. Padahal secara kasat mata saja, ikan Gastor   nampak begitu banyaknya berenang  di  air sungai yang jernih itu. Benar-benar melimpah. Tapi kok tidak ada yang mau menghampiri pancingnya, pikir Arman sambil mengernyitkan alisnya. Biasanya dia selalu dapat ikan lebih dulu, tidak pernah sesial ini.

Api sudah dinyalakan, ikan gastor pun mulai mereka bakar dibakar. Ikan ditusuk denga ranting kayu seadanya. Asap mulai membumbung disertai aroma harum ikan bakar.  Tak sabar menunggu lama mereka sudah mulai menyantapnya di atas rerumputan. Daging ikan masih tampak kemerahan, belum masak betul. Dari luar tampaknya gosong oleh api tapi sebetulnya didalam belum masak benar. Tangan anak-anak itu belepotan terkena arang.

“Manis…!” kata Jonas sambil mengangkat jempolnya. Mulutnya dipenuhi oleh daging ikan. Kunyahannya terhenti saat tangan Tony yang kotor mengusap wajahnya. Jonas tidak terima, dia pukul paha adiknya itu dengan ranting bekas bakaran ikan.Tony menangis.

“Makanya kalau jadi orang jangan jahil…” Jonas tidak terima, wajahnya menjadi cemong oleh arang dari tangan Tony. Tony  memang suka usil, tangannya yang hitam kotor itu dia oleskan diwajah Jonas sang abang. Masih Kesal dengan ulah adiknya, tangan Jonas yang hitam itupun dilapkan ke baju Tony. Tangisan Tony makin kuat saja, bajunya jadi hitam. Baju seragam Persipura, baju tim kesayangannya yang sudah satu minggu ini dia pakai terus.

Baju saja mereka jarang ganti. Apa tidak bau? Kadang Arman pun heran melihat sahabatnya itu pada jarang mandi. Kayaknya buat mereka hal itu tidak menjadi masalah.

Miris memang melihat masalah kesehatan dan kebersihan masih kurang diperhatikan oleh mereka yang tinggal di pedalaman Papua. Padahal  program ‘Ayo Mama Mandi’ sudah dicanangkan oleh pemerintah setempat dengan membuat MCK umum, sayangnya tempat itu jarang dipakai dan tidak terawat.

“Hei, lihat….! Pancing kamu  ada yang menarik”  pekik Jonas menunjuk ke arah pancing milik Arman yang ditajur selama mereka membakar ikan tadi. Begitu melihat pancing Arman bergerak-gerak, Tony  seakan melupakan peristiwa barusan, tangisannya terhenti.

Jonas yakin, tarikan itu pasti akibat sambaran ikan bukan karena  arus sungai.

Dengan semangat empat lima, Arman bangun hendak menarik pancingnya, namun sayang terpeleset. “Wah…! Ikan Kaloso…!” teriak Jonas yang akhirnya lebih dulu mengangkat pancing Arman. Seekor ikan Arwana besar berwarna perak terayun-ayun.

“Cepat-cepat…lepaskan mata kailnya” Arman meraih ikan yang menggelepar ditanah itu dengan susah payah.

“Ambil anak-anaknya, cepat nanti keburu mati” kata Jonas sambil melemparkan gagang pancing. Bukan main girangnya ketika terlihat ada anak-anak ikan keluar dari mulut sang induk.

Mereka sibuk mencari tempat untuk menyimpan anak ikan. Akhirnya anak-anak ikan dimasukan kedalam botol bekas  air mineral. Bulan September seperti sekarang adalah saatnya  ikan Kaloso atau biasa disebut Arwana beranak di sungai.

“Lepaskan lagi induknya,”Jonas menyuruh Nurdin melepaskan induk ikan kembali ke dalam sungai.   Sudah merupakan aturan di kampung mereka, yang boleh diambil adalah anaknya saja. Induknya harus dilepas supaya mereka bisa berkembang biak lagi. Kata orang kalau dimakanpun dagingnya dingin, tidak enak. Namun intinya dengan begitu kelestarian ikan akan terus terjaga.

“Siang hari biasanya penampung datang. Kita jual, lumayan….” Saat musim ikan Kaloso beranak, para penampung dari kota hampir setiap hari datang. Kabarnya mereka akan menjualnya ke P. Jawa sana. Di bulan September banyak orang mencari penghasilan dengan menangkap anak ikan Kaloso.

“27 ekor!”Tony selesai menghitung jumlah anak ikan Kaloso yang keluar dari mulut induknya. Ya, ikan Arwana menyimpan anak mereka didalam mulutnya, layaknya ikan mujair saja.

“Mantap…!” sudah terbayang, tinggal mereka kalikan saja. Satu ekor biasanya dibeli oleh penampung lima ribu rupiah. Rp.135.000 buat mereka bertiga. Hari itu mereka beruntung, padahal tidak ada terbersit untuk mencari ikan Kaloso. Jarang mereka mempunyai uang sebanyak itu.

“Kita ke Gereja dulu, ini kan hari minggu” Jonas mengingatkan adiknya,”Bapak sudah pergi dari tadi, malu kita kalau ketahuan sama bapak Pendeta”

“Jaga ikannya, kalau memang kamu tidak pergi  ke Gereja…” pinta Jonas pada Arman, “Nanti kalau orangnya datang, jual saja”

“Kamu kok tidak pernah ke gereja? Nanti Tuhan marah…” tanya Tony pada Nurdin dengan polos.

Arman diam saja. Ah, mereka tidak tahu kalau saya ini ibadahnya bukan di gereja., tapi ke Mesjid. Di kampung pedalaman Papua itu keluarganya tinggal, kakeknya dulu datang ke Papua dari Jawa sebagai transmigran.

Jonas dan Tony mencuci tangan dan wajah dengan air sungai yang bening itu, sesaat kemudian mereka beranjak pergi ke gereja.

Kini tinggal Arman sendiri di bivak itu. Dilihatnya beberapa ikan Kaloso mulai ada yang terapung. Diambilnya yang terapung itu, sepertinya ikan itu mau mati. Wah kasihan, coba saya lepaskan, siapa tahu kalau didalam sungai dia bisa sehat lagi. Pelan-pelan dia turun kedalam sungai, terasa air dingin menyentuh dikakinya. Dengan perlahan dilepaskan  anak-anak  ikan  tersebut. Tak berapa lama kemudian mereka sudah mulai berenang-renang ditepi sungai. Arman senang, ikannya tidak jadi mati. Anak ikan mulai hanyut dibawa derasnya arus sungai. Dilihatnya sisa ikan didalam botol, semakin banyak yang terapung berenang sempoyongan . Setiap kali ada yang terapung,  setiap kali pula Arman melepaskan satu persatu ke sungai. Gemericik suara air sungai menemani ikan-ikan itu kembali  hidup dan berenang dengan bebas, senyuman kebahagian terpancar dibibir Arman.

Sementara Jonas dan Tony yang sedang di Gereja tampak gelisah, mereka tidak begitu memperhatikan apa yang disampaikan oleh Pastor. Pikiran mereka melayang-layang membayangkan uang Rp. 135.000 yang bakal mereka peroleh nanti selepas pulang ibadah. Mau beli Coca Cola di kedainya Pak Wiliem, sudah lama rasanya tidak merasakan kesegaran minuman itu….Ah…Segar….!

Arman masih duduk selonjoran di dalam bivak dengan botol kosong ditangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun