Pilkada Dki menjadi pusat perhatian publik baik di lokal Jakarta bahkan secara nasional,konsentrasi Partai politik pun tertuju ke Pilkada DKI. Mungkin benar banyak ahli yang mengatakan Jakarta adalah etalase Indonesia yang, seakan memberi gambaran peta perpolitikan nasional. Namun saya secara pribadi menilai perebutan kekuasaan di Pilkada DKI juga di pengaruhi oleh besar nya jumlah Anggaran Belanja Daerah di Dki dengan besaran 67 T di 2016 ini.
Ahok sebagai incumbent telah menetapkan diri maju sebagai Cagub melalui jalur Partai politik dengan dukungan NASDEM, HANURA dan GOLKAR, setelah berfikir panjang resiko yang akan di hadapi jika maju melalui jalur perseorangan, meski dengan tambahan dukungan TEMAN AHOK dan 1 juta KTP dukungan nya. Namun Ahok terlihat masih galau, karena sampai saat ini PDIP masih belum ada tanda tanda bergabung mendukung dirinya di PILKADA DKI, meski secara pribadi hubungan Ahok dengan Ketum PDIP Ibu Megawati cukup dekat. Saya melihat kepentingan bergabung nya PDIP ke kubu Ahok bukan semata mata "ketakutan" Ahok akan figur calon yang akan di tampilkan oleh PDIP yang akhir2 ini merucut pada Wali Kota Surabaya Ibu Risma, melainkan karena Ahok berfikir sangat panjang jika PDIP menjadi lawan nya di Pilkada DKI. Ahok sangat mengerti kepentingan pembangunan di Jakarta akan sangat bersinggungan dengan pemerintahan pusat, karena DKI adalah Ibu Kota Negara, di mana saat ini pemerintahan pusat di pegang oleh kader PDIP Presiden Joko Widodo. Akan sangat tidak nyaman bagi Ahok  dalam hubungan pribadi nya dengan Bpk. Jokowi baik secara pribadi maupun ke-pemerintahan.
Kenapa pula PDIP ikut galau.....? Secara terbuka elite Partai PDIP baik DPD maupun DPP secara umum menolak mendukung Ahok, dengan bahasa formil mereka menyatakan tidak mendukung Ahok karena suara arus bawah partai tidak mendukung, Ahok tidak memiliki komunikasi politik yang santun, dan tidak mendaftar nya Ahok pada proses internal Partai. Padahal survei SMRC mengatakan mayoritas pemilih PDIP di DKI mendukung Ahok. Jelas terlihat, ada faktor "harga diri" partai yang menjadi salah satu faktor penolakan terhadap Ahok di lingkup elite Partai PDIP. Penolakan Ahok untuk mengikuti mekanisme PDIP lalu memutuskan jalur perseorangan di nilai oleh elite PDIP sebagai DEPARPOLISASI, lalu ketika 1 juta KTP terkumpul tiba tiba Ahok memutuskan jalur Partai bersama NASDEM, HANURA Â dan GOLKAR seakan "menohok" harga diri Partai pemenang Pemilu itu.
Lalu mengapa hingga saat ini PDIP belum secara tegas menentukan cagub di Pilkada Dki ? saya secara pribadi melihat ada sedikit faktor tarik menarik suara penolakan elite partai dengan kenyataan  kedekatan pribadi Ahok dengan Ibu Mega bahkan kedekatan Ahok dengan Presiden Jokowi. Namun lebih besar dari itu baik di sadari atau tidak sebenar nya elite PDIP mengakui dukungan yang besar terhadap Ahok yang tergambar melalui survei dan terkumpul nya 1 juta KTP Teman Ahok. Itu lah yang membuat kehati-hatian dalam menentukan calon yang akan melawan Ahok, dimana saat ini suara internal dan publik merucut pada satu nama kader PDIP yaitu Wali Kota Surabaya Ibu Risma. Ibu risma baik secara survei dan treck record memang di nilai memiliki modal besar untuk bersaing di Pilkada Dki. Bahkan banyak partai yang terbuka mendukung Ibu risma jika di usung oleh PDIP.Â
Sampai di sini, saya secara pribadi melihat ada kepentingan yang lebih besar yang sedang di cermati oleh PDIP dalam hal kontestasi pilkada Dki berkaitan dengan peta perpolitikan nasional. Kita semua tau, bahwa Pulau Jawa adalah Grade A dalam peta perpolitikan nasional, dengan jumlah suara terbesar nasional yang dimiliki oleh BANTEN, DKI, JABAR,JATENG, dan JATIM. Di Banten PDIP memiliki modal yang cukup dengan ada nya Rano Karno yang saat ini menjadi gubernur, Jawa Tengan yang secara kultur menjadi lumbung suara PDIP bahkan saat ini dengan Gubernur Ganjar Pranowo jelas PDIP tak akan terkalahkan, di Jawa Barat dengan modal Subang ,Karawang,Garut,Depok dan Bekasi PDIP juga memiliki kans besar menguasai JABAR, sekarang yang menjadi penentu adalah DKI dan Jawa Timur. saat ini di Dki PDIP adalah pemilik suara terbesar, namun akan sangat kontra  produktif jika gubernur nya bukan merupakan calon yang di dukung dalam pilkada. Sedangkan di Jawa Timur secara kultural adalah menjadi milik PKB karena suara NU yang kental di JATIM, namun dengan modal 18,92 % suara / 19 kursi yang hanya selisih 1 kursi dengan PKB yang memiliki 20 kursi PDIP memiliki kans besar menguasai Jawa Timur apa lagi jika PDIP mempertahan kan Ibu Risma di Surabaya untuk di siap kan pada Pilkada Jatim, lalu dengan mengambil jalan "mengalah" dan mendukung Ahok di Pilkada Dki.
Dengan skema di atas terlihat jelas kans yang sangat besar bagi PDIP menguasai Pulau Jawa sebagai lumbung suara terbesar pada skala peta perpolitikan nasional. Nah sekarang siapa yang akan menang ? apakah kuat nya "harga diri" partai dengan kuat nya penolakan DPD PDIP Dki atau akan mengambil kepentingan lebih besar bagi peta perpolitikan nasional PDIP ? PDIP sedang galau.............
Kita tunggu saja bersama deh........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!