Dalam sebuah kuliah umum yang dibawakan oleh seorang Profesor dari luar negeri, Saya sempat bertanya: “krisis teori yang terjadi seperti di Indonesia, dengan alasan tertentu diakibatkan oleh kurangnya percaya diri, apa pendapat anda tentang hal ini?” Dan jawaban Profesor itu, sesuai dengan keterbatasan Saya memahaminya, kira-kira menyatakan bahwa kepercayaan diri itu erat kaitannya dengan kompetensi yang dimiliki. Saat itu Saya tidak bereaksi apa-apa. Tetapi setelah Saya sedikit merenung beberapa waktu kemudian, jawaban Profesor itu membuat Saya menjadi sedikit tidak enak. Mengapa begitu? Saya kemudian mencoba menguraikan dan mendalaminya lagi melalui tulisan ini.
Pertama, Saya harus jujur bahwa ketidaksenangan Saya disebabkan oleh silogisme dari asumsi Saya dan tanggapan pernyataan Sang Profesor. Jika orang Indonesia kurang percaya diri, dan percaya diri erat hubungannya dengan kompetensi, maka kesimpulannya adalah orang Indonesia kurang dalam hal kompetensi.
Menyangkut hal itu, Saya mengambil beberapa unit analisis yang dipisah-pisah berdasarkan premis dan kesimpulan di atas sebagai usaha membacanya secara utuh yaitu: hal yang menyangkut asumsi Saya - yang artinya Saya sendiri, hal menyangkut tanggapan Sang Profesor – artinya termasuk dirinya sendiri, dan kesimpulan yang dapat ditarik dari keduanya. Saya akan mencoba dan memang alangkah baiknya jika dilihat satu per satu.
Menyangkut hal pertama tentang asumsi awal Saya, akan dijawab mengikuti pertanyaan: landasan historis apa yang membuat Saya dengan berani mengemukakan bahwa orang Indonesia itu kurang percaya diri? Setelah Saya ingat-ingat lagi konteks pernyataan Saya itu, barulah Saya lebih mengerti bahwa pernyataan itu muncul semata-mata sebagai reaksi yang tiba-tiba saat itu juga, yakni saat mengikuti kuliah itu. Kuliah dengan menggunakan bahasa asing sebagai sarana komunikasi, membuat Saya fokus untuk memahami apa yang dipaparkan Sang Profesor. Dengan begitu energi besar Saya habis dalam percobaan pemahaman itu. Artinya sedikit bayak, pernyataan itu sebagian besar berdasar pada presentasi slide-slide yang ditampilkan di layar putih.
Semampu ingatan Saya, Sang Profesor menampilkan sebuah slide yang menunjukkan bahwa setiap teori mestinya memiliki ruang tumbuhnya yang berbeda-beda dan tentunya hasil yang berbeda-beda atau bahkan tak pernah dapat dibandingkan - yang dengan itu pula ia mengkritik lembaga internasional tertentu yang memberikan teori dan prosedurnya dengan mengabaikan ruang penerapannya. Artinya ada aktor yang mencoba mengimplementasikan teori dengan paradigma tertentu dan ada ruang sasaran dimana teori itu hendak ditujukan. Sementara, paradigma itu sendiri pada prinsipnya menjadi paradigma setelah mendapat pengakuan dari paling tidak mayoritas masyarakat ilmiah setelah menjalani pertempuran habis-habisan yang sifatnya revolusioner. Artinya hanya ada satu paradigma tunggal yang akan diterima. Dan dengan kemenangan itu, legitimasi masyarakat umum ada di pihak mereka. Sementara yang kalah, perlahan-lahan akan lenyap dengan sendirinya.
Pertanyaannya, dalam globalisasi ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi, kelompok manakah dari masyarakat ilmiah yang menang di planet ini? Siapakah mereka? Dimanakah posisi ilmuwan kita dalam percaturan paradigma itu? Beginilah mungkin cikal bakal konstruksi pemikiran yang menghasilkan asumsi dengan Indonesia sebagai salah satu ruang penerapan itu.
Menyangkut hal kedua tentang pernyataan Sang Profesor mengenai hubungan kompetensi dan percaya diri, dalam hal percaturan teori dan paradigma Saya kira ada benarnya – apalagi dengan waktu penjelasan yang terbatas. Tetapi jika Sang Profesor konsisten dan tanpa adanya gangguang limit waktu, Saya kira jawaban yang dilontarkan tidak sesederhana itu, apalagi dengan generalisasi. Beberapa pertimbangan sebagai argumen ketidak-konsistenan Sang Profesor jika dihubungkan dengan pemaparannya adalah: ia lupa bahwa setiap teori (meskipun dari paradigma yang sama) seharusnya memiliki ruangnya sendiri dan tak bisa diperbandingkan apalagi dipertukarkan, ia lupa bahwa dalam pemaparannya ia mengkritik pemaksaan implementasi paradigma dan teori tertentu khususnya di negara berkembang dengan berbagai cara yang mau tidak mau memepengaruhi keduanya – kompetensi dan rasa percaya diri, dan ia juga mengaku bahwa ia tidak begitu mengenal Indonesia.
Sementara menyangkut hal terakhir tentang kesimpulan bahwa orang (ilmuwan) Indonesia kurang berkompeten, tidak dapat disangkal lagi dalam hal perkembangan teori dan paradigma konteks global. Saya sebagai anak Indonesia, membuat asumsi tentang orang Indonesia, berdasarkan teori dan definisi seorang Profesor dari luar negeri. Meskipun jelas untuk kasus Saya yang ditunjukkan dengan asumsi yang saya lontarkan dalam kuliah itu, tapi alangkah baiknya kalau hal ini juga dilihat secara menyeluruh, termasuk pandangan Sang Profesor dan pihak yang terlibat dalam kuliah umum tersebut.
Dengan tidak bermaksud menuduh Profesor, saya kira dalam dirinya melekat stigma orang Indonesia yang dapat ditangkap dari jawaban atas pertanyaan saya di atas. Secara umum bisa saja memang rasa percaya diri itu besar kaitannya dengan kompetensi, tetapi pilihan kompetensi sebagai satu-satunya padanan kata yang dilontarkan, saya kira tidak lepas dari pandangannya tentang kompetensi negara berkembang pada umumnya temasuk Indonesia yang kebetulan waktu itu diwakili oleh mahasiswa-mahasiswa di GMU. Meskipun begitu, anggapan ini lebih besar mengada-adanya. Untuk itu silahkan dinilai sendiri.
Sebagai bagian terakhir, yang ada kaitannya dengan asumsi Saya tentang orang Indonesia dan asumsi Saya tentang pandangan Sang Profesor, tidak bisa dilepaskan dari kuliah umum itu sendiri. Siapa penginisiasinya, siapa yang melaksanakannya, siapa pematerinya – mengapa harus dia, dan seberapa diwajibkan kita mengikutinya adalah cermin yang tidak bisa dipisahkan dari asumsi-asumsi yang Saya coba utarakan di atas. Karena, kita mungkin tidak pernah akan mengerti sepenuhnya teori-teori yang kita transfer dari negeri antah-berantah itu tanpa belajar mengerti gelagat para penulisnya. Termasuk gelagat kita sendiri. Untuk itu, untuk kedua kalinya, silahkan dinilai sendiri.