Pertentangan yang terjadi akhir-akhir ini antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) telah menyedot banyak energi masyarakat termasuk pemerintah. Tetapi dalam hal bernegara, pondasi institusi pemerintahan haruslah bisa meletakan dirinya sekuat mungkin dalam mempertahankan kebenaran sesuai dengan amanat konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar institusi negara layaknya KPK dan POLRI bisa memainkan perannya dengan baik sesuai dengan harapan semua elemen masyarkat.
Perseteruan antara tokoh-tokoh KPK dan POLRi saat ini diawali dari penetapan Budi Gunawan sebagai calon KAPOLRI oleh Presiden yang langsung dipotong oleh KPK melalui penetapan calon KAPOLRI tersebut sebagai tersangka. Selang beberapa hari selajutnya, Bambang Widjojanto, wakil ketua KPK ditangkap oleh POLRI sebagai tersangka dalam kasus sengketa pemilu di salah satu kabupaten di Kalimantan tahun 2010 silam. Sementara Budi Gunawan sampai saat ini belum juga ditahan oleh KPK.
Kedua titik puncak kasus show force tersebut di atas menjadi bahan yang sangat hangat di berbagai kalangan masyarakat. Jelas saja masyarakat menjadi bingung ketika kedua institusi tersebut saling adu kekuatan tetapi di sisi yang lain mereka sedang saling menelanjangi. Mata rakyat setidaknya sekarang bisa lebih terbuka. Mungkin ini juga yang menjadi semagat kedua institusi negara tersebut untuk menunjukkan bahwa rakyat harus tetap kritis terhadap institusi negara manapun termasuk penegak hukum seperti KPK dan POLRI. Hal ini juga menegaskan bahwa slogan-slogan anti korupsi tak bisa berbicara banyak kecuali jika ia dilandasi oleh sistem hukum yang kuat, kokoh dan bermartabat.
Dalam sistem pemerintahan yang belum kuat dan kokoh saat ini kita diperhadapkan pada dua pilihan untuk membentuk sebuah tatanan sistem yang baru. Pilihan pertama adalah dengan melibatkan orang-orang potensial dan kuat dari sistem yang lama dengan mengabaikan pelanggaran-pelanggarannya sebelumnya Atau pilihan kedua adalah dengan membersihkan semua orang dalam sistem yang lama dan merekrut orang-orang yang dianggap bersih tetapi minim pengalaman dan kurag berprestasi meskipun hal ini tentu saja sangat sukar dilakukan. Kedua pilihan ini mewakili masing-masing pragmatisme dan idealisme.
Minus malum menjadi istilah yang sering muncul dalam pembuatan pilihan keputusan khususnya pilihan yang sifatnya darurat. Artinya pilihan yang diambil haruslah memiliki lebih sedikit keburukan daripada pilihan-pilihan yang lain. Dalam sistem pemerintahan yang belum kuat, strategi tersebut sering digunakan untuk menutupi kekurangan dan kelemahan pemerintahan. Memang akan langsung nampak manfaatnya. Pemerintahan nampak bisa berjalan dengan baik tanpa ada gejolak yang berarti. Tetapi pilihan ini sangat rentan ketika terjadi persinggungan antara kepentingan-kepentingan orang-orang dalam pemerintahan tersebut. Saya kira kasus seperti ini ada dan sedang terjadi dalam pemerintahan hari ini antara KPK dan POLRI.
Pertentangan tersebut di atas sesungguhnya adalah konsekwensi dari pilihan sebelumnya. Strategi perubahan yang melibatkan orang-orang lama tidak bisa terus berjalan mulus. Hal ini tentu bernada positif apabila disikapai dengan wajar dan bijak. Selalu saja ada proses tambal sulam dalam sebuah pemerintahan reformasi. Jika ada kasus persinggungan antara orang-orang dalam institusi-institusi negara, maka prosesnya sudah berjalan ke arah yang lebih baik sebagai konsekwensi dari tujuan institusi masing-masing. Untuk itu tidak ada alasan untuk tidak mempertahankan dan membela intistusi tersebut, bukan orang-orangnya. Sistem yang membaik yang telah dibagun oleh orang-orang dalam institusi tersebut akhirnya telah menyeret mereka. Disitulah letak keberhasilan mereka dan saya secara pribadi berterima kasih pada mereka.
Lepas dari jasa-jasanya, orang-orang dalam institusi negara seperti KPK dan POLRI seharusnya akan menghormati cita-cita institusinya. Penegakan hukum adalah satu-satunya jalan bagi mereka dalam membuktikan kesungguhannya. Budi Gunawan (POLRI) dan Bambang Widjojanto (KPK) seharusnya malu jika mereka kemudian tidak diproses secara hukum. Bagaimanapun hal tersebut menjungkirbalikan semua usaha dan pernyataan-pernyataannya. Kerena dengan proses hukumlah kinerja mereka dalam negara yang sistem hukumnya belum pasti menjadi lebih pasti ke depannya.
Tantangan sebenarnya adalah bagaimana pemerintah dalam hal ini presiden melihat kasus tersebut di atas. Bagaimana memetik pelajaran dari kasus tersebut dan strategi apa selanjutnya yang diterapkan untuk melanjutkan penegakan hukum di Indonesia menjadi kunci. Tentu saja pembubaran KPK bukanlah solusi dalam pemberantasan korupsi. Tetapi memilih orang yang tidak tepat dalam KPK berarti juga membuka ruang yang sama bagi pembengkakan kasus korupsi. Bagaimana dengan POLRI? Ada banyak pengaduan masyarakat tentang kinerja POLRI yang berbau negatif. Bagaimana menyikapinya adalah tantangan ke depan.
Belajar dari kasus KPK Vs POLRI di atas beserta dengan tantangan ke depannya, kita sesunggunya kembali diperhadapkan pada pilihan-pilihan sebelumnya. Pilihan idealis adalah pilihan yang seharusnya diambil dengan cita-cita yang tinggi dan menggantung. Sementara pilihan pragmatis adalah pilihan yang didasarkan pada cita-cita yang memiliki pijakan. Sehingga pilihan idealis takan bisa benar-benar terwujud tanpa pilihan pragmatis. Maka idealisme sebenarnya adalah keterkaitan antara pragmatisme-pragmatisme yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Tetapi dengan catatan bahwa idealisme dan pragmatisme sekalipun haruslah idealisme dan pragmatisme negara sebagai kesatuan sistem. Bukan pragmatisme dan idealisme orang per orangan atau kelompok dan golongan tertentu. Jika demikian, bersiaplah menyaksikan persinggungan-persinggungan selanjutnya. Tanpa itu, kita tidak bergerak sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H