Mohon tunggu...
Encep Hanif Ahmad
Encep Hanif Ahmad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning how to Learn

seorang manusia biasa yang sedang belajar cara belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perda, Salah Tangkap dan Kemanusiaan

9 September 2010   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:20 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Erum (68) tak menyangka dirinya bisa menjadi korban salah tangkap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Jakarta Pusat bulan Agustus lalu. Nenek yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini digaruk Satpol PP saat habis belanja lauk pauk untuk majikannya berbuka puasa. Nenek Erum pun terpaksa mesti menginap di Panti Sosial Bina Insani (PSBI) Bangun Daya I Kedoya selama sepekan lebih, setelah melalui berbagai proses yang cukup rumit, barulah Nenek Erum dapat menghirup udara bebas.

Kasus salah tangkap semacam Nenek Erum mungkin bukan kali ini saja terjadi. Ironisnya, tidak ada perbaikan dari pihak-pihak terkait agar kasus salah tangkap ini tidak terulang. Bukan tidak mungkin kasus ini akan selalu berulang, bahkan akan semakin banyak, jika tidak ada upaya perbaikan prosedur penjaringan yang tepat.

Penjaringan terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) merupakan amanat dari Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8 tahun 2008 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum), khususnya mengenai tertib sosial. Sebagai aparat pelaksana dan penegak Perda, tentu sudah menjadi tugas Satpol PP-lah untuk menjaring para PMKS yang ‘berkeliaran’ di jalanan yang mengganggu ketertiban.

Berbekal Perda Tibum itulah Satpol PP bergerak untuk melakukan ‘penangkapan’ terhadap mereka yang diduga PMKS jalanan, baik itu gelandangan, pengemis, WTS, anak jalanan, anak terlantar, dan lain sebagainya yang berada di jalanan (termasuk pinggir jalan tentunya). Sampai disini mungkin tak ada masalah, karena jika memang ‘penangkapan’ itu tepat sasaran, maka itu sesuai dengan amanat Perda.

Apa yang (berma)-Salah?
Sebelum berbicara apa yang menjadi permasalahan, ada baiknya untuk diketahui alur proses penjaringan para PMKS jalanan di Jakarta (berdasarkan pengalaman yang pernah penulis alami), sebagai berikut: 1) petugas Satpol PP atau Polisi Khusus (PPNS) melakukan penjaringan PMKS di jalanan, 2) PMKS yang terjaring dibawa ke PSBI Bangun Daya (terdapat 3 PSBI di Jakarta, yaitu PSBI Kedoya di Kedoya, PSBI Cipayung di Cipayung, dan PSBI Pondok Bambu di Cipayung) untuk diidentifikasi dan didata, 3) PMKS yang telah diidentifikasi dan didata kemudian dirujuk ke panti yang sesuai dengan peruntukannya (misalnya: gelandangan pengemis dirujuk ke PSBK Balaraja, anak terlantar/jalanan dirujuk ke PSAA, penyandang cacat psikotik dirujuk ke PSBL,
WTS dirujuk ke PSBKW Kedoya, dan lain sebagainya), 4) PMKS dibina dan diberdayakan di panti rujukan sampai dianggap mampu keluar dari ke-PMKS-annya.

Namun realitas menunjukan bahwa ‘penangkapan’ yang dilakukan oleh Satpol PP atau Polsus tidak selalu tepat sasaran, dan acapkali menjadi pemicu konflik antara petugas dengan masyarakat. Selain itu, ada pula ‘salah urus’ dalam proses identifikasi dan pendataan PMKS. Ada beberapa hal yang ditenggarai sebagai penyebab ‘salah sasaran’ dan ‘salah urus’, yang merupakan variabel sistemik yang saling terkait satu sama lainnya.

Pertama, adanya arogansi petugas di lapangan, baik petugas Satpol PP/Polsus ataupun petugas di panti penampungan sementara (PSBI) memandang bahwa mereka yang terjaring sudah dijustifikasi sebagai PMKS (mengabaikan asas praduga tak bersalah), sehingga seringkali memberikan perlakuan tidak layak terhadap mereka yang terjaring.

Kedua, proses identifikasi danpendataan yang berjalan lambat di PSBI (catatan: PSBI Kedoya – kasus nenek Erum - adalah PSBI yang paling mending dibanding PSBI lainnya), sehingga tingkat ketidakpastian status mereka yang terjaring menjadi tidak jelas. Juga tidak adanya informasi yang jelas terhadap keluarga yang ‘ditangkap’.

Ketiga, tidak adanya ruang ‘salah tangkap’, secara administrasi ruang kemungkinan ‘salah tangkap’ diabaikan. Untuk ‘membebaskan’ mereka yang sudah ‘tertangkap’ diperlukan beberapa dokumen, antara lain yaitu 1) foto copy KTP ‘pembebas’ dengan menunjukan aslinya, 2) foto copy KK yang mencantumkan nama ‘pembebas’ dan yang ‘tertangkap’ dengan menunjukan aslinya, 3) surat keterangan dari kecamatan tempat tinggal yang bersangkutan, 4) surat rekomendasi dari instansi ‘penangkap’, dan 5) surat pernyataan pengakuan telah melakukan pelanggaran perda, akan melakukan pembinaan di rumah, dan tidak akan mengulangi perbuatan. Tanpa kelengkapan tersebut, mereka yang terlanjur ‘tertangkap’ tidak bisa ‘dibebaskan’. Khususnya dokumen kelima, memastikan bahwa tiap-tiap yang tertangkap telah dijustifikasi sebagai pelanggar perda dan dipaksa untuk mengakuinya, sehingga ruang ‘salah tangkap’ dianggap tidak ada.

Keempat, tidak adanya proses peradilan, sehingga sesungguhnya tidak pernah diketahui apakah mereka yang ‘tertangkap’ itu benar-benar melanggar Perda atau tidak.

Kelima, tidak adanya petunjuk teknis yang merupakan turunan dari Perda, sehingga pelaksanaannya ‘semau dhewe’ para pelaksana di lapangan.

Keenam, adanya paradigma yang salah terhadap PMKS. Pandangan bahwa PMKS merupakan oknum yang ‘bersalah’ yang mesti dieliminasi dan diasingkan menjadi stereotip paradigma para petugas dan pengambil kebijakan khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Padahal sesungguhnya para PMKS itu adalah manusia yang menjadi ‘korban’ dari situasi dan kondisi yang mesti diselamatkan.

Bagaimana Membuat Lebih Baik?
Secara normatif perlu ada perubahan paradigma terhadap penanganan PMKS. Dalam pembangunan Kesejahteraan Sosial (Kesos), ada beberapa pilar yang menjadi tiang penyangganya, yaitu 1) perlindungan (charity), 2) pelayanan dan rehabilitasi, dan 3) pemberdayaan. Para PMKS adalah manusia-manusia yang perlu dilindungi, dilayani, dan diberdayakan, bukan untuk ditangkapi, didzolimi, dan dibuang.

Dengan paradigma baru (maksudnya di mata para petugas) ini, maka semestinya mereka yang diduga sebagai PMKS ini diperlakukan sebagai manusia yang membutuhkan perlindungan, pelayanan, dan pemberdayaan. Mereka merupakan manusia-manusia yang belum tergali potensinya. Disinilah nilai-nilai kemanusiaan berbicara, bahwa apa pun tindakan yang dilakukan untuk menangani PMKS, baik itu penjaringan, ataupun pembinaan, adalah semata-mata untuk menyelamatkan mereka dari jurang ke-PMKS-an, dan dapat menjadi manusia yang utuh dan mandiri. Dilandasi dengan niat untuk menyelamatkan, maka segala tindakan akan lebih berbentuk persuasif, bukan lagi represif. Ajak mereka bicara, bukan lantas menangkap dan memvonis mereka bersalah.

Secara teknis ada beberapa hal yang mesti dibenahi, antara lain, pertama, perlu ada pembinaan terhadap petugas di lapangan agar ada pemahaman yang utuh bahwa tugas mereka adalah melindungi, melayani, dan memberdayakan, bukan sekedar untuk menangkapi dan menindas mereka yang diduga PMKS. Adanya pembinaan ini diharapkan dapat menurunkan tensi arogansi mereka.

Kedua, meningkatkan pelayanan di PSBI sehingga proses identifikasi dan pendataan tidak berlarut-larut, apalagi sesungguhnya di tiap panti sudah memiliki perangkat lunak Sistem Informasi Administrasi Panti Sosial (SIAPS), tidak ada alasan untuk memperlambat proses kerja.

Ketiga, mesti proses peradilan terhadap mereka yang ‘tertangkap’ sebagaimana kasus pelanggaran perda lainnya (misal: pelanggaran yustisi atau penggaran merokok), sehingga ada kejelasan terhadap status mereka yang ‘tertangkap’.

Keempat, adanya informasi kepada publik atau pihak keluarga, baik mengenai proses-proses penjaringan ataupun hal lain mengenai pembangunan sosial.

Kelima, membuat petunjuk teknis yang jelas mengenai pelaksanaan Perda Tibum, baik berupa Pergub atau hal lainnya.

* * *

Malam ini seiring dengan gema takbir yang bertalu, para petugas (Satpol PP dan Polsus) tetap istiqomah menjalankan tugasnya untuk menjaring para manusia gerobak dan PMKS. Mudah-mudahan dengan itikad baik untuk memberikan perlindungan, pelayanan, dan pemberdayaan, tidak terjadi ‘salah tangkap’ lagi.

Wallahua’lam bishawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun