Mohon tunggu...
Ahmad Budairi
Ahmad Budairi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Pecinta kopi dan gadis cantik. Semacam pengelola blog www.nusagates.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kalimat Indah Berlumur Darah

14 Februari 2016   16:05 Diperbarui: 14 Februari 2016   16:15 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ivan Pavlov, Pelopor Teori Conditioning diambil dari Quotesgram"][/caption]Keindahan suatu kalimat memanglah bersifat relatif. Tergantung masing-masing individu yang membaca kalimat tersebut. Subjektivitas seorang pembaca sangat berpengaruh dalam menilai keindahan suatu kalimat. Bisa saja suatu kalimat diterima dengan makna yang sama tetapi berbeda tingkat keindahan yang dirasa. Kita bisa membuktikan hal ini dengan cara membuat sebuah puisi, cerpen, artikel, atau hal lain kemudian kita berikan ke beberapa orang yang kita kenal. Minta pada mereka untuk menilai sisi keindahan tulisan tersebut. Lihat hasilnya apakah mereka memberi nilai yang berbeda?

Dalam sebuah ajaran agama ada kalimat yang diagungkan atau dipercaya memiliki nilai yang sangat tinggi. Salah satu contoh, di dalam agama Islam ada kalimah thoyyibah. Kalimah ini semuanya berisi pujian kepada Allah, Tuhan umat Islam. Bagi orang yang terbiasa berdzikir dengan kalimat-kalimat ini dan hatinya sudah mapan, mereka seringkali merasakan keindahan kalimat-kalimat itu. Bahkan! tak jarang kalimat-kalimat itu membawa mereka ke suasana haru dan membuat mereka berliang airmata keharuan.

Kalimat bisa menjadi stimulus bagi seseorang dengan respon yang beragam. Bagi orang yang gemar berdzikir, membaca kalimat-kalimat thoyyibah bisa menjadi stimulus untuk merasakan berbagai tingkah batin (khal). Tergantung tingkatan masing-masing. Namun, bagi orang lain mungkin terasa biasa saja. Tidak berpengaruh sama sekali.

Di dalam dinamika kehidupan, kita bisa melihat kalimat-kalimat yang bagi orang tampak biasa saja namun bagi orang lain bisa menjadi stimulus untuk respon tertentu. Salah satu contoh, kebiasaan pelafalan Takbir para ekstrimis saat perang dan diekspos ke publik ditambah lagi para ekstrimis-ekstrimis lain yang menggunakan kalimat Takbir untuk memulai penyerangan, sweeping, dan hal-hal terkait kekerasan lainnya membuat orang-orang yang melihat atau membacanya bisa beruah persepsinya. Terlebih bagi orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal kalimat itu.

Kalimat Takbir yang sering dilafalkan ekstrimis saat melakukan kontak fisik atau kekerasan bisa menjadi stimulus bagi orang yang melihat peristiwa itu. Bisa saja orang-orang berlarian tunggang langgang saat tiba-tiba ada seseorang yang meneriakkan Takbir di tengah keramaian. Padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Bisa saja orang yang mendengar kalimat Takbir secara tiba-tiba itu angkat tangan ketakutan. Kalimat takbir seringkali diasosiasikan dengan tindak kekerasan.

Kita perlu waspada. Jika memang ini merupakan stimulus terkondisi atau dalam hal lain sengaja dibuat agar ketika orang mendengar kata Islam dan kalimat Takbir merasa ketakutan, maka akan sangat merugikan bagi umat Islam. Untuk itu, kita perlu berhati-hati dalam melakukan segala hal. Lihat kondisi dan situasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun