Mohon tunggu...
Ahmad Budairi
Ahmad Budairi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Pecinta kopi dan gadis cantik. Semacam pengelola blog www.nusagates.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Janji Bukanlah Takdir yang Tak Bisa Diubah

13 Februari 2016   11:59 Diperbarui: 13 Februari 2016   12:20 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Demo diambil dari liputan6"]Jum'at kemarin, tersebar kabar yang menghebohkan terkait demo honorer K2 yang menagih janji pemerintah untuk segera mengangkat mereka jadi PNS. Berita yang membuat heboh itu adalah tentang adanya rumor bahwa ada peserta yang meninggal dunia saat mengikuti unjuk rasa. Berdasarkan kabar yang ditulis  JPNN pada 12 februari dikatakan kalau ada dua peserta demo yang meninggal dunia. Salah satu diantaranya tengah hamil tujuh bulan dan satunya lagi laki-laki yang sudah tua.

Melihat kabar tentang meninggalnya peserta demo yang berseliweran di sosmed itu, aku tak bisa menahan diri untuk memberikan komentar. Saat itu juga aku membuat status di Facebook dengan mengatakan

"menurutku sih, bukan pemerintah yang jahat. Tapi, suami dari ibu hamil itu yang mengijinkannya ikut demo. atau mungkin jangan-jangan si suami juga ikut demo. Anyway, semoga mereka mendapat ridho Tuhannya".

Komentar singkat itu ternyata menjadi pemantik perdebatan panjang dengan seorang dosen dari Unesa. Beliau berpihak pada guru honorer yang tengah beraksi memperjuangkan nasibnya. Beberapa kali aku minta maaf karena melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Aku katakan pada beliau, jika dalam posisi hamil, aku tidak akan mengijinkan istri untuk ikut demo. Salah satu alasannya karena kasihan. Lima alasan lainnya pun kuajukan pada komentar di status tersebut.

Pak Sukma, Dosen yang membela guru honorer membalas komentar dengan penekanan bahwa janji presiden harus ditepati. Aku membalas komentar itu dengan bahasa akademis. Aku jadikan perumpamaan kata, "semua guru honorer" menjadi variabel yang memiliki parameter tertentu. Tidak sebagai variabel independen yang sepi dari parameter. Aku katakan pada beliau jika variabel tersebut memiliki parameter misalnya, kuota belum terpenuhi atau guru yang hendak diangkat memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Tapi, kalau variabel tersebut dianggap sebagai variabel independen, multitafsir adalah keniscayaan.

Karena sudah larut malam, aku tidak melanjutkan adu pendapat itu dengan pak Sukma. Pagi harinya, istriku memberi tahu kalau ada komentar dari pak Sukma yang mengibaratkan janji itu ibarat odol (pasta gigi) yang sangat sulit dimasukkan lagi jika sudah keluar. Sebenarnya aku ingin menjawab komentar itu, "sulit. Tapi tidak mustahil kan?", tapi rasanya tidak akan berguna karena sejak awal memang sudut pandang kami berbeda.

Aku pun teringat lagu yang dibawakan Joy dari negeri Jiran. Salah satu lirik lagunya mengatakan bahwa, "Janji bukanlah takdir yang tak bisa ditarik kembali." Tp, bagaimanapun masalah pengangkatan guru honorer tentu sangat kompleks. Selain melihat ketimpangan jumlah guru PNS dan daya tampung sekolah juga melihat kompetensi guru-guru itu sendiri. Tidak semua bisa dipukul rata bisa diangkat atau tidak.

Hal yang paling penting menurutku adalah "sadar diri", apakah benar-benar sudah memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dunia pendidikan yang ada di Indonesia. Tidak hanya memikirkan yang penting jadi guru PNS, mendapat gaji dan tunjangan. Jujur saja, aku sendiri merasakan kekecewaan di dunia pendidikan. Aku kuliah di kampus dengan motto "growing with character" di jurusan pendidikan yang secara umum akan ditransformasikan sebagai pendidik. Namun, aku kecewa karena disitu aku merasa calon guru yang dididik dan diuji sebagai siswa, bukan sebagai calon guru. Materi sering disampaikan dengan ceramah bermodal power point. Teori-teori metode pengajaran yang mengedepankan karakter dan keberagaman siswa hanya dipelajari secara teoritis. Pendidikan gaya bank yang diangkat Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas masih sangat terasa.

Jauh hari sebelum memutuskan untuk meminta hak, kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kewajiban sebagai guru itu sudah kita penuhi? Minimal tiga point yang harus kita penuhi, yaitu sebagai pendidik (syaikut tarbiyah), sebagai pengajar (syaikhut ta'lim), dan sebagai pembimbing (syaikhut tartiya). Sebagai guru, kita tidak bisa puas hanya mengantarkan siswa mendapat nilai bagus. Tetapi juga memiliki kewajiban untuk menggembleng moralnya secara lahiriyah dan ruhaniyah. Kita tanya pada diri sendiri berapa kali mendoakan murid secara khusus agar dimudahkan dalam mencari ilmu? Jika ada murid yang sangat bandel itu didoakan dengan frekuensi yang lebih atau malah diabaikan? Jika yang muslim perlu ditanyakan juga apakah sudah mampu mendoakan siswa-siswanya pada sepertiga malam terakhir agar mudah menerima pelajaran?

Guru itu tanggung jawab yang luar biasa. Jangan sampai meminta sesuatu yang tidak mampu menunaikannya. Sekarang unjuk rasa menagih janji. Pertanyannya apakah kita juga siap untuk memenuhi janji-janji seorang guru? Marilah kita renungkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun