Ibuku adalah seorang petani yang tinggal di sebuah desa kecil. Di sana, kehidupan kami sulit. Pendapatan ayah dan ibu dari bertani sering tidak cukup untuk menyambung hidup sampai ke panen raya berikutnya. Walhasil, mereka memiliki banyak hutang untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Meskipun keadaan ekonomi sulit, ibu sangat mempedulikan pendidikanku. Ketika aku naik ke kelas XI di SLTA, ibu nekat membelikanku komputer dengan menjual sawah satu-satunya yang dimiliki. Hal ini dilakukan karena melihat prestasiku di sekolah yang lumayan bagus.Â
Hadiah komputer itu membuatku sangat terharu. Bayangkan saja di desa itu baru ada dua orang yang memiliki komputer yaitu guruku di SLTP yang merupakan tetangga dekat dan aku yang baru saja dibelikan ibu.
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan, komputer butut pentium 3 itu kuhajar habis-habisan untuk belajar excell dan materi pelajaran TI yang diberikan di sekolah lainnya. Walhasil saat kelulusan tiba, aku dinobatkan menjadi siswa dengan peringkat tertinggi pada pelajaran komputer dan mendapat hadiah.
Dasar-dasar ilmu komputer yang kupelajari itu kemudian menjadi bekal yang istimewa ketika mendapatkan beasiswa bidik misi di Surabaya. Meskipun dari desa yang masuk kategori pedalaman, aku bisa mengimbangi kebutuhan pengetahuan teknologi untuk menunjang perkuliahan.
Komputer itu adalah hadiah dari ibu yang tak kan terlupakan. Dengan kemampuanku mengoperasikan komputer saat ini, aku bisa mencukupi kebutuhan keluargaku. Pekerjaanku menjadi freelancer dibidang pemrograman web dan mobile lumayan cukup untuk berbagi pendapatan dengan ibu.
Aku tahu bahwa jasa ibu tak akan bisa terbalaskan. Untuk itu, setiap selesai sholat 5 waktu aku selalu mendoakannya.
Semoga ibu selalu sehat dan bahagia di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H