Mohon tunggu...
Ahmad Budairi
Ahmad Budairi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Pecinta kopi dan gadis cantik. Semacam pengelola blog www.nusagates.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pengucilan Tidak Lagi Efektif Jadi Sanksi Sosial

15 Februari 2016   12:10 Diperbarui: 15 Februari 2016   12:20 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai warga negara Indonesia yang juga pernah mengenyam pendidikan formal di Indonesia tentu kita tidak asing lagi dengan istilah sanksi sosial. Ini adalah materi dasar pada pelajaran IPS. Terutama bagi pelajar yang dari SD hingga perguruan tinggi mengambil jurusan linear pada spesialisasi ilmu sosial tentu hafal istilah ini beserta macam-macam bentuk sanksi sosial menurut pakar-pakar sosial.

Seiring perkembangan dunia teknologi, sanksi sosial yang paling berkembang pesat adalah gosip. Sebuah kejadian yang tidak menyenangkan bisa langsung menyebar melalui teknologi sosial media dengan cepat berbentuk gosip dengan berbagai variasi dan turunannya. Sebagai contoh, pernyataaan kang Ulil Abshar Abdalla terkait LGBT yang menuai kontroversi dan menyebar secara viral di jagad sosial media dalam waktu yang relatif singkat. Kecaman dan kritikan dikemas sedemikian rupa hingga kehilangan objektivitas dan malah menjadi gosip belaka.

Di satu sisi, sanksi sosial berupa gosip bisa saja menjadi ancaman menakutkan bagi sebagian orang yang suka jaim. Namun tidak begitu bagi orang-orang yang memegang prinsip "ndablek" atau bebal. Oleh karena itu, sebuah gosip malah akan meninggikan pamor orang-orang yang bersangkutan. Mereka malah merasa senang mendapat iklan gratis dari penebar gosip. Lucu? Tentu tidak!

Satu lagi sanksi sosial yang sering diberlakukan masyarakat, yaitu pengucilan. Seringkali pengucilan dilakukan kepada orang-orang yang dianggap sudah melanggar tata etika ataupun norma yang berlaku pada suatu sistem sosial masyarakat, kelompok, ataupun keluarga. Dalam skala kecil, bentuk pengucilan adalah sikap acuh sebagian anggota kelompok kepada individu yang bersangkutan. Contoh konkritnya begini: Seorang anak yang ketahuan hamil pra nikah oleh orang tuanya kemudian didiamkan selama berhari-hari. Ini adalah bentuk pengucilan paling ringan sedangkan bentuk yang lebih tinggi misalnya berupa pengusiran dari rumah.

Berdasarkan temuan penulis, tampaknya sanksi sosial berupa pengucilan tidak lagi efektif diberlakukan pada sebagian masyarakat di Indonesia. Terutama bagi mereka yang sudah kecanduan gadget. Bayangkan saja seorang yang sedang mendapat sanksi pengucilan ternyata malah asyik main COC, Point Blank, ataupun applikasi lain yang sangat digemari tanpa merasa tertekan sedikitpun dengan sanksi yang diterimanya. Sebagian yang lain juga asyik dengan komunitas dunia maya yang diikutinya. Di satu sisi ia sedang dikucilkan, di sisi yang lain bisa saja ia mendapat banyak dukungan. Sebab itu, boleh jadi mereka menjadi bebal sehingga merasa tidak perlu meminta maaf atau merubah perilakunya yang menyebabkan dirinya dikucilkan.

Sanksi sosial diberlakukan tentunya bertujuan untuk menegakkan aturan main suatu sistem sosial. Namun, jika sanksi itu ternyata tidak berpengaruh positif bagi orang yang dikenai sanksi kan namanya sia-sia. Untuk menyelesaikan suatu permasalahan, kita dituntut untuk memahaminya secara komprehensif agar dalam menentukan bentuk hukuman ataupun sanksi tidak asal-asalan dan tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap yang bersangkutan. Sebagai contoh, kita bisa mengurai sebuah permasalahan dan memecahkannya menggunakan pendekatan dengan teori U. Tentang teori ini, bisa tanya pada simbah Gugel ya.. hehe

Well! terakhir yang ingin kusampaikan adalah: Sebelum hukuman atau sanksi dikenakan pada seseorang, kita perlu bijaksana dalam mengurai akar masalah. Kita coba memposisikan diri sebagai orang yang bersangkutan, kubu pendukung, dan kubu penentang agar kita mampu berfikir lintas dimensi dan emosi. Agar kita bisa seminimal mungkin menghindar dari pengurangan hak yang tidak sepatutnya terjadi pada masing-masing pihak yang bersangkutan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun