Mohon tunggu...
Sophie Love
Sophie Love Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumahtangga

part time wife, full time mum. belajar menulis untuk menjaga keseimbangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terlalu, Dini!

24 Januari 2015   15:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sambutlah pagi dengan senyuum, maka seperdua hari telah kau isi dengan kebahagiaan”

Tak terhitung sudah berapa ribu kali, tulisan tangan di cermin kamar mandi itu masuk dalam ruang penglihatan Dini, tanpa benar-benar diresapi maknanya. Jangankan memikirkan pesan terselubung yang dikirim sang penulis, menyadari kalau ada dua huruf “u”di kata senyumpun, dia lalai. Sungguh tidak biasa bagi seorang Dini Aleyda Moningka, editor fiksi di satu majalah wanita yang terkenal bermata tajam, kalau menyangkut segala bentuk pelanggaran tata bahasa dalam penulisan. Padahal, hampir tiap pagi dan malam, Sejak menempati rumah ini dua tahun yang lalu, paling tidak ia menghabiskan lima menit di depan cermin, untuk menyikat gigi dan mencuci muka di wastafel.

Tapi tidak pagi ini, tulisan itu tiba-tiba seperti menuntut untuk diperhatikan. Hal pertama, tentu saja huruf ‘u’ yang berlebihan itu. “Huh! Bram memang tidak teliti, bahkan untuk hal sekecil itu” Dini merutuk. Dan, segera saja sebuah daftar imajiner yang berisi rentetan keteledoran sang suami memenuhi kepalanya. Wajah dalam cermin, yang sebelumnya memang sudah tidak tersenyum, semakin berkerut. Seandainya Bram sedikit lebih teliti, tentu tak perlu ada tumpukan makanan kaleng kadaluarsa, yang hanya berakhir di tempat sampah. Belanja, tanpa memeriksa persediaan, membuat Bram sering membeli bahan makanan, sementara barang yang sama masih ada.

Kalau Bram teliti, mungkin mereka bisa tinggal d rumah dengan kondisi yang lebih baik. Mata romantis Bram hanya melihat halaman rumput dan kebun mawar yang memang terawat rapi, dan langsung jatuh cinta. Retakan di dinding kamar dan dapurpun lolos dari penilaian. Dan, sekarang, hujan lebat menjadi momok.

Dan, kalau Dini memikirkan lebih jauh, bisa jadi pernikahan merekapun, sedikit banyak karena keteledoran Bram. Berkenalan di suatu acara konser musik, Dini yang sedang merana putus cinta, segera terhibur dengan Bram yang penuh perhatian, kocak, cenderung konyol. Kesepian dan alkohol mengantar Dini ke pelukan Bram malam itu. Hanya satu kali, tetapi benih sudah dititipkan. Walaupun, toksoplasma membuat Dini kehilangan sang jabang, Bram memohon untuk menikahinya. Kesungguhan di mata lelaki itu, membuat Dini percaya, cinta pada pandangan pertama, itu mungkin. Paling tidak, bagi orang seperti Bram. Sementara bagi Dini, perkawinan mereka lebih sebagai keniscayaan, karena sudah terlanjur mengandung.

Hmm.. Mungkin dalam hal ini, yang teledor adalah Dini. Tapi tetap, menyalahkan Bram terasa lebih gampang.

Menyalahkan Bram.

Tiba-tiba sesuatu menyentak di hati Dini .Benarkah itu yang selalu kulakukan selama ini? Menyalahkan Bram, atas apapun masalah yang kuhadapi? Dan apa reaksinya? Selama dua tahun bersama, tak pernah sekalipun Bram hilang kendali, dan menyerang balik. Walaupun dia punya semua amunisi. Hanya karena bekerja sebagai fotografer di koran lokal, dengan jam kerja yang fleksibel, bukan berarti Bram punya kebebasan mutlak atas waktunya, seperti yang selalu dijadikan alasan bagi Dini untuk menyerahkan tugas-tugas yang tidak disukainya, kepada Bram. Mulai dari memilih rumah, sampai belanja dapur. Dini menganggap dengan memasakkan makanan kesukaan Bram, sudah cukup sebagai bentuk apresiasi. Tapi, benarkah demikian? Bukankah memasak memang kesukaan Dini, ada atau tidak ada Bram?

Dini merasakan genta bertalu-talu di kepala, dan seperti film buruk sedang diputar dengan bintang utama dirinya sendiri. Adegan saat dia dengan sikap ketus yang sudah biasa, mengomentari sesuatu yang sedang dikerjakan Bram, dan sang suami hanya menggoda “pantas pedas, karet tiga!. Dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Ya, senyum itu. Yang berusaha ditularkannya selama dua tahun, dengan sia-sia.

Dini membasuh muka untuk kesekian kali, dan menatap tajam ke wajah di dalam cermin. Perlahan, seulas senyum tipis menghias bibirnya.

Daftar imajinerpun meredup dan hilang.

“Bram,

Mulai pagi ini, senyumku, dan juga hatiku, untuk kamu” Dini bertekad.

Balikpapan, 23 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun