Belakangan ini media sosial maupun media masa telah diramaikan oleh kabar pemblokiran sejumlah situs media Islam yang diduga bernafaskan ajaran radikal oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) atas rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal tersebut tentu saja menuai polemik di tengah masyarakat; baik itu positif maupun negatif.
Melalui surat Nomor 149/ K.BNPT/3/2015, BNPT meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir sejumlah situs web. Pemblokiran itu dilakukan karena situs-situs tersebut dianggap sebagai penggerak paham radikalisme dan sebagai simpatisan radikalisme. Beberapa situs yang diblokir tersebut antara lain arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, dan hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com. Akan tetapi, beberapa situs yang diblokir tersebut masih bisa dibuka.
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah mengungkapkan empat kriteria yang membuat suatu situs dianggap radikal, yaitu: Pertama, menyebarkan konten yang mengajak atau mengarahkan tindakan anarkis dan terorisme; Kedua, mengandung unsur Sara (suku, agama dan ras); Ketiga, takfiri (mengkafirkan seseorang atau kelompok), dan Keempat, melakukan propaganda yang mengandung unsur kebencian, kekerasan, ancaman, anjuran berjihad yang mengharuskan pergi ke negara-negara seperti Syiria.
Menariknya, setelah menuai banyak kontroversi di media cetak maupun di media sosial, polemik ini justru terkesan seperti permainan bola pingpong. Komjen Pol Saud Usman Nasution, selaku kepala BNPT mengatakan bahwa tanggungjawab untuk menjelaskan alasan pemblokiran sejumlah situs bukan berada pada tangan BNPT, tetapi Dirjen Aplikasi Kominfo. Pihaknya hanya memberi masukan dan saran terhadap regulator yang ada di negeri ini, namun di kesempatan lain Menkominfo Rudiantara meminta awak media untuk menanyakan kepada BNPT langsung tentang alasan pemblokiran.
Nampaknya peribahasa “lempar batu sembunyi tangan” cocok untuk disematkan pada permasalahan ini. BNPT mengatakan bahwa pihaknya tak berwenang untuk melakukan penutupan terhadap sebuah situs dan melimpahkannya pada Kementrian Kominfo sebagai decision-maker. Di sisi lain, Kementrian Kominfo sebagai regulator mengklaim pihaknya hanya menjalankan tugas ataupun mandat dari BNPT yang telah merekomendasikan sejumlah situs tersebut agar diblokir. Kalau kedua pihak tersebut saling menyalahkan, lantas siapa yang harus kita percaya?
Kedua pihak baik BNPT ataupun Kementrian Kominfo memang terlihat saling melemparkan tanggungjawab satu sama lain. Kurangnya komunikasi diantara kedua pihak dinilai menjadi pemicu terjadinya saling tuduh-menuduh ini. Padahal apabila kita berusaha sedikit lebih dewasa dalam menanggapi permasalahan ini, sebenarnya yang diinginkan masyarakat bukanlah mengetahui siapa dalang di balik semua ini, melainkan penjelasan lebih lanjut perihal mengapa situs-situs Islam tersebut harus diblokir. Kurangnya penjelasan serta pengertian pada masyarakat membuat masyarakat bertanya-bertanya terhadap sikap yang diambil pemerintah.
Bahkan sebagian besar masyarakat yang menentang peraturan Menkominfo No 19 Tahun 2014 tersebut, menilai empat kriteria situs yang dianggap radikal versi BNPT itu kurang valid. Beberapa menilai unsur radikal yang disebutkan dalam kriteria tersebut kurang spesifik dan terkesan asal-asalan. Adapula segelintir masyarakat yang menganggap bahwa Kementrian Kominfo hanya menerima “titipan” dari pihak tertentu.
Lebih parahnya lagi, akibat ketidakjelasan persoalan ini, telah terbentuk semacam opini publik bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi-JK saat ini ingin menyebarkan sindrom Islamophobia lewat pemblokiran situs-situs tersebut. Maka dari itu ada baiknya pemerintah lewat Kementrian Kominfo melakukan klarifikasi pada masyarakat sebelum stigma tersebut berkembang semakin meluas.
Kedua belah pihak, BNPT dan Kementrian Kominfo perlu duduk bersama agar kesalahpahaman ini tidak menjalar ke permasalahan lain. BNPT selaku pihak yang merekomendasikan situs-situs radikal ini perlu mejelaskan secara komprehensif serta mendetail pada masyarakat perihal alasannya mengapa mengkalisifikasikan 22 media Islam tersebut disebut radikal. Sedangkan Kementrian Kominfo seharusnya tidak mengambil langkah ekstrim dengan langsung memblokir situs-situs yang direkomendisikan tanpa mengkaji kembali isi dari situs-situs tersebut. Menkominfo seharusnya memberikan peringatan terlebih dahulu pada pemilik situs yang dianggap radikal itu sebelum akhirnya memutuskan untuk memblokir.
Sementara itu, kita sebagai masyarakat seharusnya lebih teliti dan cermat dalam menanggapi isu-isu semacam ini. Karena apabila kita kurang cermat dalam menanggapi isu ini, maka bukan tidak mungkin ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan keadaan ini untuk memecah belah kesatuan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H