Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Berkomunikasi atau berdialog adalah cara untuk bertukar pendapat, opini dan solusi antara individu atau pun kelompok. Seiring dengan berkembangnya zaman dan pola hidup masyarakat membuat berkembangnya juga batasan-batasan sosial yang ada, terutama di Indonesia. Dari sekian banyak batasan yang ada seperti ekonomi, pendidikan, strata sosial dan yang paling sensitive adalah agama.
Indonesia adalah negara prulasistik dengan berbagai suku, agama, dan ras. Dengan keadaan seperti ini dialog adalah upaya untuk menyatukan berbagai pendapat yang ada untuk mecapai satu solusi bukan hanya dalam hal masalah keagamaan tetapi juga dalam masalah-masalah lain yang sedang “booming” dalam masyarakat kita.
Sebagian besar masalah mandet dan susahnya masyarakat kita berdialog lintas agama adalah mindset mereka sendiri. Dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat kita, agama bisa menjadi senjata makan tuan disini. Agama adalah alat paling praktis untuk memobilisasi masyarakat ditambah dengan ketidak kritisan mereka terhadap hal itu. Sebagai contoh kerusuhan antar umat beragama di sampang, Madura yang didasari atas kesalahpahaman antara pihak Sunni dan Syiah. Dari contoh tersebut membuktikan bahwa agama adalah alat “pemanas” masyarakat paling efektif.
Dialog sebagai hal yang digadang-gadang sebagai cara untuk menciptakan kedamaian tetapi banyak hal yang menghalanginya. Salah satu hal lain adalah adanya kecurigaan yang berkembang antar umat beragama. Seperti yang dikutip dari buku Sketsa Nurani Anak Bangsa karangan Max Regus, Pr. bahwa “Agama terus melakukan dialog sembari terus tepat tenggelam dalam kecurigaan masing-masing.”
Dialog tetaplah dialog sedangkan agama tetaplah agama. Dua hal yang harus disatukan secara mandiri bukan dengan embel-embel politik, Politik memang seperti rambut halus diantara dua hal ini. Agama bukan lagi melulu mengenani Tuhan kita yang berada di atas sana tetapi juga merangkap menjadi tuhan politik yang berkomunikasi dengan bahasa kekerasan untuk menunjukan eksistensinya.
Dari dua masalah itu (pendidikan dan kecurigaan), para “tuhan politik” kita memanfaatkannya untuk membenturkan dua komunitas dan menjadikan efeknya sebagai sebuah ajang meningkatkan angka elektabilitasnya. “tuhan” muncul sebagai pahlawan dan juru selamat yang menyelsaikan teka-teki hubungan antar umat beragama dengan solusi revolusioner untuk menyelsaikan teka-teki yang ia buat sendiri. Dan sim-sala-bim meningkatlah tingkat popularitas dan elektabilitasnya.
Solusinya sebenarnya mudah, pisahkan beragama dengan berpolitik (Yang sepertinya anda semua sudah tahu). Itu menunjukan semua orang beragama menjadi berpolitik jika menyangkut kekuasaan.
Membunuh Tuhan. Punya arti positif maupun negatif disini. Jika kita melihat Tuhan menyatu dengan agama maka mungkin tuhan tidak ada bedanya dengan “tuhan politik” ataupun CEO sebuah organisasi dan perusahaan multinasional sekelas Mc.Donalds bernama Islam, Katolik, Kristen, dan lain-lain. Sebagaimana yang kita tahu perusahaan-perusahaan itu berorientasi pada laba dan itulah yang sering terjadi pada kehidupan beragama sekarang. Jika ini yang terjadi saya sendiri yang akan membunuh tuhan.
Beda halnya dengan dipisahkanya konteks Tuhan dan agama. Agama hanya dilihat sebagai identitas yang membedakan kita secara tradisi dan budaya. Sedangkan tuhan adalah kekuatan maha besar yang tidak terjangkau dan sesosok yang harus kita teladani. Butuh kedewasaan lebih untuk memisahkan kedua konteks ini.
Jadi kedewasaan dalam berbagai aspek seperti politik, rohani, iman, dan hati sangat dibutuhkan untuk berdialog antar agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H